Mulai kamis besok BPJPH (Kemenag) berhak Terbitkan Sertifikat Halal, bukan MUI
Ibadah.co.id – Terhitung tanggal 17 Oktober 2019, pemerintah mulai menetapkan kewajiban sertifikasi halal. Kewajiban halal itu mencakup industri pengolahan (pangan, obat, kosmetika), Rumah Potong Hewan (RPH), hingga restoran/katering/dapur.
Penerbitan sertifikasi halal itu nantinya menjadi kewenangan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Sehingga kewenangan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika MUI (LPPOM-MUI) untuk menerbitkan sertifikasi halal beralih ke BPJPH.
“Apa pun kondisinya, 17 Oktober sudah di depan mata. Tak boleh ada kata mundur, apalagi mengelak. BPJPH yang diamanahi UU untuk melaksanakan jaminan produk halal, siap tak siap harus siap,” ujar Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal BPJPH, Mastuki, dalam keterangannya yang dikutip kumparan di laman Kemenag, Rabu (16/10).
Amanat yang dimaksud Mastuki yakni UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH), seluruh produk yang ada di Indonesia wajib bersertifikat halal. Hal itu termaktub di Pasal 4 yang berbunyi:
Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal.
Untuk mengeluarkan sertifikasi halal, dibentuklah BPJPH. BPJPH menjadi salah satu unit Eselon I di Kementerian Agama.
Sehingga kewenangan menerbitkan sertifikasi halal atau bahkan mencabutnya, kini ada di bawah Kemenag sebagaimana bunyi Pasal 5 ayat (3) UU JPH:
Untuk melaksanakan penyelenggaraan JPH sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dibentuk BPJPH yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri.
Masih dalam UU tersebut, BPJPH mulai bekerja menerbitkan sertifikasi halal 5 tahun setelah UU JPH diundangkan. Diketahui UU JPH disahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan diundangkan Menkumham Amir Syamsuddin pada 17 Oktober 2014. Artinya mulai Kamis (17/10) besok, UU JPH ini memasuki 5 tahun.
Ketentuan itu diatur di Pasal 67 ayat (1) yang berbunyi:
Kewajiban bersertifikat halal bagi Produk yang beredar dan diperdagangkan di wilayah Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 mulai berlaku 5 (lima) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Dihapusnya kewenangan menerbitkan sertifikasi halal itu sempat membuat LPPOM-MUI menggugat sejumlah pasal UU JPH ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada 14 Agustus 2019. LPPOM-MUI meminta MK menghapus pasal yang mengatur keberadaan BPJPH di UU JPH.
Gugatan itu dibacakan dalam sidang awal pada 17 September 2019. Namun LPPOM-MUI akhirnya menarik gugatannya pada 20 September 2019.
Tak diketahui alasan penarikannya. Tetapi tak adanya gugatan itu membuat BPJPH yang diresmikan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin pada Oktober 2017, bisa bernafas lega.
Menteri Agama, Lukman Hakim saat rapat kerja dengan Komisi VIII untuk membahas ‘Persiapan Penyelenggaran Ibadah Haji’ di Komplek Parlemen, Jakarta, Kamis (25/7). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Lantas apakah MUI sama sekali tak dilibatkan dalam sertifikasi halal?
Saat meresmikan BPJPH, Lukman mengatakan peran MUI tetap penting. Meski tak lagi berwenang menerbitkan sertifikasi halal, kata Lukman, MUI tetap memiliki peranan di dalamnya. Hal itu pula yang ditegaskan Mastuki.
Mastuki menyebut ada 3 peran yang dimiliki MUI dalam penerbitan sertifikasi halal sesuai Pasal 10 UU JPH.
“MUI sebagai partner strategis BPJPH dalam 3 skema utama kerjasama: akreditasi LPH, sertifikasi auditor halal, dan penetapan kehalalan produk. LPPOM-MUI saat ini adalah satu-satunya lembaga yang melaksanakan fungsi LPH, yakni pemeriksaan dan/atau pengujian produk,” ucap Mastuki.
Pelibatan MUI itu juga disampaikan Kepala BPJPH Kemenag, Sukoso. Ia mengatakan penerbitan sertifikat halal tetap mengacu pada fatwa MUI.
“BPJPH kan lembaga pemeriksa halal, administrasi pemeriksaan. Nanti di lapangan ada auditor halal lalu dikirim ke BPJPH dan di MUI nanti ada fatwa halal,” kata Sukoso.
Adapun soal pengurusan kewajiban sertifikasi halal, kata Sukoso, diberikan waktu hingga lima tahun mendatang, yaitu sampai 17 Oktober 2024. (Kumparan)