Jakarta, Ibadah.co.id –Wukuf sering disebut orang sebagai merupakan puncak dari manasik haji. Wukuf juga yang membedakan ibadah haji dan ibadah umrah. Wukuf dilakukan pada 9 Dzulhijjah, sehari sebelum hari raya Idhul Adha. Wukuf dilakukan di tanah halal, Arafah.
Imam An-Nawawi dalam kitab yang ditulis khusus perihal haji dan umrah, Al-Idhah fi Manasikil Hajji, menyebutkan dua wajib wukuf yang harus diperhatikan oleh jamaah haji. Pertama, waktu wukuf. Kedua, syarat wukuf.
أحدهما كونه في وقته المحدود وهو من زوال الشمس يوم عرفة إلى طلوع الفجر ليلة العيد
Artinya, “Pertama, keadaan wukuf dilakukan pada waktunya yang telah ditentukan, yaitu sejak gelincir matahari (zuhur) hari Arafah (9 Dzulhijjah) sampai terbit fajar (Subuh) malam Idul Adha (10 Dzulhijjah),” (Imam An-Nawawi, Al-Idhah fi Manasikil Haji pada Hasyiyah Ibni Hajar alal Idhah, [Beirut, Darul Fikr: tanpa tahun], halaman 147).
Adapun perihal waktu wukuf didasarkan pada hadits nabi yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasai, Ibnu Majah, Al-Hakim, Al-Baihaqi, dan Ad-Dailami berikut ini.
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ يَعْمَرَ قَالَ شَهِدْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَتَاهُ نَاسٌ فَسَأَلُوهُ عَنْ الْحَجِّ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْحَجُّ عَرَفَةُ فَمَنْ أَدْرَكَ لَيْلَةَ عَرَفَةَ قَبْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ مِنْ لَيْلَةِ جَمْعٍ فَقَدْ تَمَّ حَجُّهُ رواهأحمد وأبو داود والترمذى والنسائى وابن ماجه والحاكم والبيهقى والديلمى
Artinya, “Dari sahabat Abdurrahman bin Ya’mar ra, aku menyaksikan Rasulullah saw didatangi para sahabat. Mereka bertanya kepada perihal haji. Rasulullah saw menjawab, ‘Haji itu Arafah. Siapa saja yang mendapati malam Arafah sebelum terbit fajar malam Muzdalifah (malam Idul Adha), maka sempurnalah hajinya,'” (HR Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasai, Ibnu Majah, Al-Hakim, Al-Baihaqi, dan Ad-Dailami).
Imam An-Nawawi menambahkan, jamaah haji yang berada di Arafah pada rentang waktu wukuf yang telah ditentukan meski sejenak dianggap sah wukufnya dan dianggap telah melaksanakan ibadah haji.
Adapun, jamaah haji yang tidak berada di Arafah pada rentang waktu yang ditentukan telah luput wukuf dan sekaligus luput ibadah hajinya sehingga ia tetap berkewajiban haji pada tahun-tahun yang akan datang.
Adapun ketentuan ahli ibadah perlu diperhatikan, yaitu apakah ia memenuhi syarat ibadah, bukan orang yang pingsan atau gangguan jiwa. Jamaah haji di bawah umur atau jamaah haji yang tertidur di Arafah dianggap sebagai ahli ibadah.
والثانى كونه أهلا للعبادة وسواء فيه الصبي والنائم وغيرهما
Artinya, “Kedua, jamaah haji tersebut merupakan ahli ibadah, baik itu anak-anak, orang tidur, maupun selain keduanya,” (Imam An-Nawawi, Al-Idhah: 147).
Jamaah haji yang ahli ibadah dan mengalami rentang waktu wukuf yang telah ditentukan pada sepetak tanah Arafah dianggap telah melaksanakan wukuf meski hanya sebentar, sambil beraktivitas jual-beli, berkendara, sambil tidur, secara sengaja, lalai, bercakap-cakap, dan lain sebagainya. Wallahu a’lam.
Sumber: NU Online