Take a fresh look at your lifestyle.

- Advertisement -

NKRI Bersyariah dan Menegakkan Syariat Itu Mulia

0 103

Ibadah.co.id –Hasil Ijtima Ulama selalu mendapatkan perhatian publik. Hal ini tak lepas dari beragam kejutan dan kontroversi yang menyertainya. Dalam Ijtima Ulama IV di Bogor pada tanggal 5 Agustus lalu, telah menghasilak beberapa rekomendasi terkait dengan situasi Indonesia kekinian.

Ada satu rekomendasi yang mendapatkan perhatian khusus dari berbagai kalangan, bahkan sampai hari ini, rekomendasi itu masih dibicarakan dan ditanggapi oleh banyak kalangan. Rekomendasi yang dimaksud adalah ajakan kepada seluruh umat Islam untuk memperjuangkan terwujudnya NKRI Bersyariah berdasarkan Pancasila.

Hasil Ijtima Ulama ke IV pada poin 3.6 disebutkan : “Mewujudkan NKRI syariah yang berdasarkan Pancasila sebagaimana termaksud dalam pembukaan dan batang tubuh UU 1945 dengan prinsip ayat suci di atas ayat konstitusi agar diimplementasikan dalam kehidupan beragama berbangsa dan bernegara.”

Sekilas, memperjuangkan NKRI Bersyariah berdasarkan Pancasila adalah langkah yang tepat untuk umat Islam Indonesia saat ini. Terlebih umat Islam Indonesia adalah mayoritas sebagai penduduk Indonesia. Sehingga, sudah saatnya mewujudkan syariat Islam dalam kehidupan bernegara. Keyakinan itu semakin kuat karena yang merumuskan rekomendasi bukanlah kalangan ‘kaleng-kaleng’, tetapi manusia istimewa, ulama sebutannya.

Namun, tak jarang yang menolak wacana tersebut. Bahkan, penolakannya lebih deras nan masif ketimbang yang pro terhadap NKRI Bersyariah. Tidak hanya pemerintah yang menolak, ormas Islam seperti NU dan Muhammadiyah pun dengan tegas menolak wacana ini. Secara garis besar, pihak yang menolak untuk memperjuangkan terwujudnya NKRI Bersyariah beralasan bahwa ideologi Pancasila sudah final dan NKRI harga mati, tak perlu embel-embel syariah!

Selain penolakan dari tokoh dan ormas yang representatif, NKRI Bersyariah juga menuai segudang masalah. Diantaranya adalah, belum ada rumusan baku tentang konsep NKRI Bersyariah itu sendiri. Celakanya, yang ada justru antar tokoh pengusung belum sepemahaman (ada kontradiksi).

Sebagaimana diuraikan Ahmad Muntaha dalam uraiannya berjudul NKRI Syariah Prematur ala Ijtima Ulama IV, bahwa penanggungjawab Ijtima Ulama ke-IV, Ust Yusuf Martak dalam penjelasannya di TvOne (6/8) menjelaskan NKRI Bersyariah itu sebagai berikut:

Pertama, menjalankan seluruh apa yang diajarkan oleh agama masing-masing di bawah landasan Pancasila sebagaimana termaktub dalam Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 45 dengan prinsip ayat suci di atas ayat konstitusi;

Kedua, rekomendasi tidak berarti mau mendirikan negara Islam; Ketiga, konstitusi tidak melawan agama.

Masih sama tentang penjelasan NKRI Bersyariah, Ust Bernand Abdul Jabbar di media berbeda, yakni Inews TV (13/8), penjelasan berbeda justru terjadi. Steering Committe Ijtima Ulama IV ini menjelaskan NKRI Bersyariah itu sebagai berikut:

Pertama, memurnikan ajaran Allah. Kedua, menerapkan syariah, yang tidak berhukum dengan hukumnya Allah adalah kafir, zalim, fasik; dan ketiga, Pancasila belum kaffah, belum sempurna.

Dari sini lantas publik bertanya; jika antar pengusung ide NKRI Bersyariah saja berselisih dan terlihat tak mempunyai konsep konkrit, lalu bagaimana bisa mempersatukan umat dan menjamin bahwa hidup di bawah naungan NKRI Bersyariah itu bisa lebih baik dari kondisi saat ini? Entahlah.

Pro Penegakan Syariat Islam

Jika ditelisik lebih jauh, sejatinya konsep atau wacana menegakkan NKRI bersyariah bukanlah barang baru. Artinya, tidak baru muncul pada hasil Ijtima Ulama ke IV. Jauh sebelum ada Ijtima Ulama yang sudah berjilid-jilid itu, sudah dikoar-koarkan oleh FPI jauh-jauh hari.

Jadi, ketika muncul wacana NKRI Bersyariah, sesungguhnya konsep itu lekat dengan ormas FPI karena gerakan NKRI Bersyariah diinisiasi oleh FPI. Jejak digital akan hal ini sudah bertebaran, baik dalam bentuk video maupun lainnya.

Bahkan, NKRI Bersyariah sudah termaktub dalam sebuah buku karya imam besar FPI Habib Rizieq Shihab dengan judul Wawasan Kebangsaan Menuju NKRI Bersyariah. Buku ini merupakan buku yang disarikan dari tesisnya yang berjudul “Pengaruh Pancasila terhadap Penerapan Syariat Islam di Indonesia”.

Bagi kalangan yang pro terhadap tegaknya NKRI bersyariah, seperti FPI, mereka tak mau disalahkan, bahkan mereka mempunyai beberapa alasan kuat.

Pertama, Islam itu agama yang sempurna. Kelompok pro penerapan syariat Islam dalam bentuk formal (kelembagaan), selalu membuat narasi apik; Islam adalah agama sempurna; solusi atas segala persoalan yang terjadi.

Maka, untuk keluar dari jurang kemiskinan, ketidakadilan dan berbagai kemelut masalah bangsa, penerapan syariat Islam huumnya wajib guna memecahkan berbagai persoalan bangsa. Di sini, NKRI Bersyariah menemukan tempat yang istimewa di hati pendukungnya.

Kedua, Pancasila dan UU 1945 gagal dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan. Melalui mimbar-mimbar keagamaan, kelompok ini selalu mengolok-olok pemerintah, menyudutkan, dan membangun opini bahwa pemerintah gagal dalam mewujudkan keadilan sosial dan kesejahteraan sebagaimana amanat kemerdekaan. Bersamaan dengan itu, mereka menawarkan solusi, yang ujung-ujungnya adalah penerapan syariat Islam. Muncul-lah NKRI Bersyariah yang digagas FPI. Selamatkan Indonesia dengan syariah (Khilafah), adalah misi HTI.

Ketiga, sejarah pembentukan negara Indonesia adalah sejarah perjuangan umat Islam dan ulama. Sejarah mencatat bahwa kontribusi umat Islam dan ulama sangat besar dalam memerdekakan Indonesia. Saking dominannya, Indonesia pernah menjadi Negara Islam dalam artian simbolik-partikular dengan Piagam Jakarta, dengan butir pertama : “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.

Namun, satu hari setelah proklamasi kemerdekaan (18 Agustus 1945), Piagam Jakarta dengan anak kalimat : … dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya disepakati untuk dihapus, dan diganti menjadi : “Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Jadi, dari sini muncul kelompok yang sampai saat ini menolak Pancasila edisi revisi 18 Agustus 1945 dan mereka kekeh untuk mengembalikan Pancasila 22 Juni yang dikenal dengan Piagam Jakarta. Langkah tokoh yang sepakat menghapus tujuh anak kalimat dalam Pancasila 22 Juni ini dianggap sebagai pengkhiatan penguasa terhadap umat Islam.

Sempalan orang yang tidak menerima Pancasila sebagaimana saat inilah, yang kemudian terus melakukan upaya untuk mengembalikan diterapkan kembali Piagam Jakarta.

Abdul Muqsith Ghozali dalam artikelnya Mengarahkan Gerakan NKRI Bersyariah menjelaskan bahwa karena khawatir ada trauma politik masa lalu, beberapa kelompok yang mengusung pengembalian Piagam Jakarta bergerak dengan formula baru; tak lagi menggunakan istilah Piagam Jakarta melainkan NKRI Bersyariah (NuOnline, 04/1).

Jadi, kelompok ini memegang prinsip bahwa dulu, negata ini milik umat Islam, namun penguasanya berkhianat. Kini, tugas mereka untuk terus memperjuangkan penegakan syariat Islam sebagaimana apa yang dulu telah diraih/wujudkan oleh umat Islam.

Betapapun itu, menegakan syariat Islam memang merupakan misi mulia. Namun, memaksakan penegakan syariat secara formal di negara yang sudah memiliki ideologi final dan tak bertentangan dengan prinsip dasar syariah itu bukan langkah yang tepat.

Terkait ajakan untuk mewujudkan NKRI Bersyariah, satu hal yang perlu dipegang sebagaimana ditegaskan oleh KH Sholahudin Wahid (Gus Sholah), bahwa syariat Islam akan tetap jalan di Indonesia tanpa perlu adanya rumusan NKRI Bersyariah. Satu lagi, penolakan terhadap rumusan NKRI Bersyariah bukan berarti orang yang menolak itu anti-Syariat Islam. (harakatuna)

Get real time updates directly on you device, subscribe now.

Leave A Reply

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More

Privacy & Cookies Policy