Islam, Radikalisme, dan Demokrasi
Ibadah.co.id – Setelah terjadi kasus serangan teroris yang paling fenomenal di Amerika Serikat (AS) pada 11 September 2001, salah satu diskursus yang muncul ke permukaan dalam khasanah politik internasional maupun domestik, khususnya yang berkaitan dengan persoalan religio-politik, adalah mengenai “radikalisme ” Islam. Dalam sejumlah literatur, istilah radikalisme, fundamentalisme, revivalisme, atau neofundamentalisme Islam memiliki tafsiran yang sulit untuk dibedakan satu sama lain, yang semuanya merujuk pada fenomena “kebangkitan ” gerakan Islam politik.
John L Esposito (1997), misalnya, menyamakan istilah Islam politik dengan “fundamentalisme Islam ” (ditulis dalam tanda kutip) atau gerakan-gerakan Islam lainnya. Sementara Oliver Roy (1994) cenderung menafsirkan Islam politik sebagai aktivitas kelompok-kelompok yang meyakini Islam sebagai agama dan sekaligus sebagai ideologi politik ( “the activist groups who see in Islam as much a political ideology as a religion “). Sedikit berbeda dengan Esposito, Roy lebih spesifik merujuk pada apa yang ia sebut sebagai gerakan neofundamentalisme yang antara lain menghendaki pemberlakuan syariat Islam. Istilah radikalisme umumnya dipakai baik oleh kalangan akademisi maupun media massa untuk merujuk pada gerakan-gerakan Islam politik yang berkonotasi negatif seperti “ekstrem, militan, dan nontoleran ” serta “anti-Barat/Amerika. “
Bahkan sejak dikumandangkannya genderang perang melawan terorisme oleh Presiden AS George W Bush pasca 11 September 2001, istilah radikalisme dan fundamentalisme dicampur-adukkan dengan terorisme. Ironisnya, tidak jarang pula cap fundamentalisme diberikan kepada para pemeluk Islam yang menerima kitab suci mereka, al-Quran dan Hadis sebagai jalan hidup mereka. Dengan kata lain, “kebanyakan dari penegasan kembali agama dalam politik dan masyarakat tercakup dalam istilah fundamentalisme Islam ” (Esposito, 1992). Sebagaimana dikatakan Esposito, persepsi umum tentang fundamentalisme sangat dipengaruhi oleh Protestanisme Amerika, di mana istilah itu dipahami sebagai “sebuah gerakan Protestanisme abad kedua puluh yang menekankan penafsiran Injil secara literal sebagai hal yang fundamental bagi kehidupan dan ajaran Kristen. ” Menurut Esposito, “Bagi banyak orang Kristen, fundamentalis adalah hinaan, yang digunakan agak sembarangan untuk orang-orang yang menganjurkan posisi Injil yang literalis dan dengan demikian dianggap statis, kemunduran, dan ekstremis. “
Dalam konteks aspek religio-politik di kalangan Islam, cap fundamentalisme dan radikalisme juga seringkali dipergunakan secara sinis dan dengan nada menghina, memusuhi, serta merendahkan untuk menyebutkan nama-nama seperti Republik Islam Iran, Imam Khomeini, Hizbullah, Hamas, FIS di Aljazair, Partai Refah di Turki, Ikhwanul Muslimin, dan sebagainya. Mereka memang memperjuangkan tegaknya ajaran agama (Islam) dalam konteks kehidupan sosial-politik, namun penerapannya sama sekali jauh dari kesan “literalis. ” Bahkan mereka justru memperjuangkan tegaknya nilai-nilai demokrasi dan hak-hak asasi manusia (HAM) yang bersifat universal.
Dalam panggung politik domestik, fenomena bangkitnya gerakan-gerakan Islam radikal pasca 1998 ditandai dengan maraknya aksi-aksi yang melibatkan pengerahan massa yang dimotori berbagai kelompok Islam “garis keras ” seperti Front Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Hizbut Tahrir (HT), dan Laskar Jihad (LJ). Kendati ada perbedaan baik dari segi pandangan politik maupun strategi perjuangan, umumnya mereka memiliki persamaan dalam satu hal, yaitu menghendaki penerapan syariat (hukum) Islam di bumi Nusantara. Dalam soal ini, mereka sebenarnya memiliki kesamaan misi dengan beberapa partai politik berasaskan Islam, seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Bulan Bintang (PBB), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
II Radikalisme dan fundamentalisme Islam sering dipandang sebagai ancaman terhadap kehidupan demokrasi, baik di tingkat nasional maupun global. Karena dianggap sebagai ancaman terhadap demokrasi, dengan sendirinya juga dipandang sebagai musuh dunia dan bahkan musuh peradaban umat manusia. Demokrasi memang merupakan sebuah sistem politik yang didambakan oleh hampir setiap insan politik. Hampir tidak ada satu rezim pun di dunia ini baik di negara-negara kapitalis maupun komunis, maju maupun berkembang, Timur maupun Barat, Utara maupun Selatan yang enggan mencantumkan, baik eksplisit maupun implisit, kata “demokrasi ” pada sistem politik yang dianut negaranya.
Kendati dengan berbagai macam embel-embel di belakangnya, “demokrasi ” dianut oleh sebagian besar negara di atas muka bumi ini. Bahkan para diktator tampaknya percaya bahwa komponen yang harus ada bagi keabsahan mereka adalah terdapatnya satu atau dua kata tentang demokrasi. Inti demokrasi yang stabil akan terus mempunyai pengaruh yang besar di dunia; di kebanyakan negara, apakah diperintah oleh rezim demokrasi atau bukan-demokrasi, para pemimpin akan terus menyebut “pemerintahan oleh rakyat ” sebagai suatu sendi dari keabsahan mereka; namun banyak sekali negara yang akan diperintah oleh rezim bukan demokrasi (Dahl, 1992).
Namun, terlepas dari soal kelebihan dan kekurangan sistem itu model demokrasi yang diakui secara resmi maupun berbagai konsep demokrasi di Dunia Barat juga berpengaruh terhadap proses demokratisasi di Dunia Islam (Esposito & Voll, 1999). Dan, dengan sendirinya, perdebatan antara “model resmi ” sistem demokrasi Barat dan kritik-kritiknya juga mempengaruhi respons kaum Muslim terhadap kebijakan Barat dan perubahan di tingkat lokal (Esposito & Voll, 1999). Demokrasi identik dengan the Western Christian Connection, karena demokrasi memang lahir dan tumbuh di lingkungan kultur Barat yang Kristen.
Oleh sebab itu, demokrasi tampak “sulit berkembang ” di lingkungan kultur yang non-Barat dan non-Kristen seperti Islam/Arab. Di samping itu, sekurang-kurangnya terdapat dua kendala lain bagi berkembangnya demokrasi di negara-negara Islam. Pertama, di kalangan Islam sendiri belum ada kesepakatan tentang hubungan antara Islam dan demokrasi. Kedua, proses demokratisasi di negara-negara Islam sedikit banyak juga tergantung pada faktor eksternal. Artinya, keberhasilan atau kegagalan proses demokratisasi tergantung dari apakah negara-negara di luar kawasan ini, khususnya negara-negara Barat sendiri, mendorong atau justru menghambat demokratisasi.
Kasus Aljazair 1991 membuktikan, kegagalan demokrasi lebih banyak disebabkan oleh dukungan Barat kendati secara diam-diam terhadap dihentikannya proses demokratisasi, karena adanya kekhawatiran Barat terhadap “fundamentalisme ” Islam. Dan, kekhawatiran itu lebih bersandarkan pada prasangka negatif, sebuah sikap yang sebenarnya juga “tidak demokratis “. III Dalam hal hubungan Islam dan demokrasi sekurang-kurangnya terdapat tiga aliran pemikiran (Esposito & Piscatori, 1991; Esposito, 1992). Pertama, aliran pemikiran yang berpendapat, Islam di dalam dirinya demokratis tidak hanya karena prinsip syura (musyawarah), tapi juga karena konsep-konsep: ijtihad (independent reasoning) dan ijma atau konsensus atau permufakatan (Esposito & Piscatori, 1991; Esposito, 1992).
Secara harfiah ijtihad mengandung arti “berusaha semaksimal mungkin melaksanakan suatu pekerjaan tertentu “. Secara teknis mengandung arti, “upaya maksimal untuk meyakini perintah Islam serta maksud sesungguhnya dari perintah Islam yang menyangkut masalah atau urusan tertentu ” (Al-Maududi, 1990). Hamid Enayat (1988) berpendapat, Islam masih bisa lolos dari salah satu “tes moral demokrasi “, yaitu persyaratan bahwa suatu pemerintahan tidak hanya harus berdasarkan hukum, tetapi dalam segala keputusannya juga harus memperhitungkan kehendak rakyat yang diperintah. Persyaratan ini, menurut Enayat, dipenuhi oleh prinsip syura dan ijma , yang digali dari al-Quran dan Hadis.
Muhammad Asad, seorang pemikir Islam modernis mengatakan bahwa lembaga legislatif majlis asy-syura harus benar-benar mewakili seluruh komunitas, baik pria maupun wanita. Karakter perwakilan demikian hanya dapat dicapai melalui pemilu yang bebas, karenanya para anggota majelis harus dipilih dengan cara-cara yang memungkinkan semua orang terlibat (berpartisipasi). Sayyid Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh, dua pemikir Islam kenamaan, bahkan pernah mengatakan bahwa Islam adalah agama yang menyatakan “kehendak bebas ” (Enayat, 1988). IV Kedua adalah aliran pemikiran yang menegaskan bahwa demokrasi bertentangan dengan ajaran Islam. Aliran ini muncul pada 1905-1911 di Iran selama berlangsungnya Gerakan Konstitusional.
Syaikh Fadlallah Nuri, selama debat tentang formulasi konstitusi mengemukakan, satu kunci gagasan demokrasi, persamaan semua warga negara, adalah “impossible ” dalam Islam. Sayyid Qutb, teoretisi dan tokoh gerakan Ikhwanul Muslimin yang dieksekusi rezim Mesir (1966), menekankan bahwa sebuah negara Islam harus berlandaskan pada prinsip musyawarah sebagaimana yang tercantum dalam al-Quran. Ia percaya bahwa syariat sudah sangat lengkap sebagai suatu sistem moral dan hukum, sehingga tidak diperlukan legislasi yang lain. Pada 1982, Shaikh Muhammad Mutawwali al-Sha rawi, salah seorang tokoh agama terkemuka di Mesir, memancing kontroversi dengan mengatakan, “Islam tidak bisa dipadukan dengan demokrasi “. Dan, orang nomor dua dalam jajaran kepemimpinan FIS Aljazair, Ali Benhadj, menegaskan bahwa konsep demokrasi harus digantikan dengan prinsip-prinsip pemerintahan yang Islami. Para teoretisi politik Barat sendiri, kata Benhadj, mulai melihat demokrasi sebagai “sebuah sistem yang cacat ” (a flawed system). Semua upaya untuk mensintesiskan Islam dengan demokrasi selalu terbentur pada batu karang yang bernama “kumpulan doktrin yang abadi dan tak bisa diubah ” yang merupakan intisari setiap agama (Enayat, 1988). Pemikir besar Syiah Iran Sayyid Muhammad Hussein Thabathaba i termasuk yang menganut aliran bahwa Islam dan demokrasi tidak bisa dirujukkan. Ia mengingatkan, “dalam kelahirannya, setiap agama besar selalu bertentangan bukannya menyesuaikan diri dengan kehendak mayoritas “. Thabathaba i mengutip al-Quran (23:70-71), “Seandainya kebenaran itu mengikuti kehendak mereka sendiri, pasti akan binasalah langit dan bumi beserta segala isinya “. Karena itu, katanya, salahlah untuk menganggap tuntutan mayoritas sebagai selalu adil dan mengikat. Dalam pandangan Enayat, karena Thabathaba i menghadapi masalah kebebasan berpendapat dalam Islam dengan cara yang langsung dan terbuka, “maka pendiriannya jauh lebih jujur dan berani dibandingkan dengan semua teoretisi yang condong untuk mengusahakan integrasi artifisial demokrasi ke dalam Islam ” (Enayat, 1988).
Pendapat bahwa Islam bertolak-belakang dengan demokrasi juga dianut oleh penguasa Arab Saudi, khususnya Raja Fahd bin Abdul Aziz, yang secara terbuka pernah menegaskan bahwa demokrasi hanya cocok untuk masyarakat Barat, tapi tidak sesuai bagi bangsa Muslim. Fahd bahkan pernah mengharamkan suatu pemilu yang bebas. Fahd pernah mengatakan, “The prevailing democratic system in the world is not suitable for us in this region … We have our own Muslim faith which is a complete system and a complete religion. Elections do not fall within the sphere of the Muslim religion ” (Anderson, 1997).
Ketiga adalah aliran pemikiran yang, menurut Esposito dan Piscatori, “Like the first school of thought, this line of argument holds that Islam constitutes its own form of democracy, but, like the second, concentrates on the relationship between divine and popular sovereignty “. Dengan kata lain, aliran pemikiran ketiga ini menyetujui adanya prinsip-prinsip demokrasi dalam Islam, tetapi di lain pihak mengakui adanya perbedaan antara Islam dan demokrasi. Abul A la Al-Maududi, pemikir dan pendiri gerakan Jamaat-i Islami di Pakistan, pernah mengatakan bahwa dalam demokrasi sekuler Barat, pemerintahan dibentuk dan diubah dengan pelaksanaan pemilihan umum.
Demokrasi dalam Islam, katanya, juga memiliki wawasan yang mirip, tetapi perbedaannya terletak pada kenyataan bahwa kalau di dalam sistem Barat suatu negara demokratis menikmati hak kedaulatan mutlak, maka dalam demokrasi Islam, kekhalifahan ditetapkan untuk dibatasi oleh batas-batas yang telah digariskan oleh Hukum Ilahi (Al-Maududi, 1990). Secara historis, cita-cita demokrasi dalam bentuk kebebasan untuk mengemukakan pendapat, berbicara, berserikat, dan berkumpul serta pemerintahan yang berperwakilan telah mengesan dalam pikiran kaum muslim sebagai akibat wajar dari tujuan kemerdekaan dan kesatuan nasional (Enayat, 1988).
Bagi para pemikir muslim, masalah-masalah yang ditimbulkan oleh perkembangan soal demokrasi ini jauh lebih rumit dibandingkan dengan masalah-masalah yang ditimbulkan oleh gagasan nasionalisme (Enayat, 1988). Jika Islam berbenturan dengan postulat-postulat tertentu demokrasi, ini disebabkan karena sifat umum Islam sebagai agama. Setiap agama tak dapat tidak akan mengalami konflik yang sama karena kepribadiannya sebagai agama, yaitu suatu sistem keyakinan yang dilandaskan pada sejumlah ajaran yang mutlak dan tak bisa diubah, atau pada kekuatan konvensi-konvensi atau otorita-otorita tradisional yang diakui (Enayat, 1988).
Tidak ada bentuk pemerintahan, apa pun dasar-dasar ideologis atau konfigurasi sosial ekonominya, yang dapat disebut “demokratis ” dengan pengertian yang kita pahami sekarang ini, tanpa didasarkan pada sejumlah prinsip yang tersirat dalam sikap dan nilai-nilai sosial rakyatnya, atau tersurat secara resmi dalam undang-undangnya. Yang terpenting dari prinsip-prinsip itu, adalah pengakuan atas martabat setiap manusia tanpa memandang kualitas-kualitasnya, pengakuan atas perlunya hukum, yaitu himpunan norma-norma yang pasti atau rasional, untuk mengatur semua hubungan sosial; kesamaan semua warga negara di hadapan hukum, tanpa memandang ras, suku dan kelompok, dapat dibenarkannya keputusan-keputusan negara atas dasar persetujuan rakyat, dan tingkat toleransi yang tinggi terhadap pendapat-pendapat yang tidak konvensional dan tidak ortodoks (Enayat, 1988).
Memang, terdapat perbedaan antara konsep Islam dan Barat klasik tentang persamaan yang tecermin sebagian dalam terminologi politik kedua budaya ini. Al-Quran mengakui manusia (insan), tanpa memandang keyakinan dan pendirian politiknya, tapi tidak mempunyai padanan kata untuk warga negara (citizen). Inilah sebabnya kaum muslim zaman modern terpaksa menciptakan istilah baru untuk konsep warga negara: muwathin dalam bahasa Arab, syahr-vand dalam bahasa Parsi, dan vatandas dalam bahasa Turki (Enayat, 1988). Dewasa ini sistem pemerintahan demokratis yang mana pun juga masih tetap melakukan diskriminasi tertentu, baik secara tersirat maupun tersurat, yang menguntungkan bagi mereka yang memberikan kesetiaan kepada sehimpunan cita-cita, norma-norma, dan lambang-lambang yang membentuk pokok dari suatu konsensus yang dipradugakan, apakah konsensus tersebut adalah “cara hidup Amerika “, atau “sosialisme ilmiah “, atau demokrasi monarki-liberal (Enayat, 1988).
Islamolog asal Jerman, Gudrun Kramer (1993) mengatakan, arus utama di kalangan aktivis maupun pemikir Islam dapat menerima elemen-elemen penting dalam demokrasi politik seperti pluralisme (dalam kerangka Islam), partisipasi politik, pertanggung-jawaban pemerintahan (government accountability), penegakan hukum, serta perlindungan terhadap hak asasi manusia (Kramer, 1993). Namun, mereka menolak unsur liberalisme. Terutama, yang jelas-jelas bertentangan dengan nilai-nilai Islam seperti free-sex atau perkawinan sejenis (homo/lesbi). Demokrasi bisa jadi merupakan suatu sistem yang “baik ” dan sesuai dengan ajaran Islam. Namun, demokrasi belum merupakan sebuah sistem yang “sempurna “.
Bahkan kadangkala demokrasi memunculkan suatu yang kontradiktif. Jika demokrasi diartikan sebagai suatu sistem yang memberikan kebebasan penuh bagi rakyat untuk memilih pemimpin dan wakil-wakil mereka sebagai bagian dari hak asasi manusia, maka Islam tidak berlawanan dengan demokrasi. Dalam Islam, tidak ada tempat bagi teokrasi. Karenanya, pembuat kebijakan bisa ditentang baik oleh individu maupun organisasi. Bahkan, menolak penguasa yang lalim merupakan salah satu tugas terpenting dalam Islam (Kayhan International, 23 Januari 1992). Jika yang dimaksud demokrasi adalah sistem pemerintahan yang bertolak belakang dengan kediktatoran, maka Islam sesuai dengan demokrasi.
Karena, di dalam Islam tidak ada tempat bagi pemerintahan “semau sendiri ” oleh satu orang atau sekelompok orang. Dasar dari semua keputusan dan tindakan dari suatu negara Islam bukanlah keinginan atau kehendak individu, tapi adalah syariat (Enayat, 1988). Al-Maududi mengemukakan bahwa Islam menggunakan istilah kekhalifahan, bukan kedaulatan (Al-Maududi, 1990). Karena menurut Islam, kedaulatan hanya milik Tuhan saja. Al-Maududi merujuk pada al-Quran (24:55). Dalam masyarakat semacam itu, kata Al-Maududi, tidak ada ruang bagi kediktatoran seseorang atau sekelompok tertentu atas yang lainnya. Tidak ada seorang atau sekelompok orang pun yang diberi hak istimewa untuk menjadi penguasa mutlak dengan merampas hak asasi orang kebanyakan.
Di satu pihak, seorang penguasa akan bertanggung jawab pada Tuhan, dan di lain pihak dia juga akan dimintai pertanggung-jawabannya oleh mereka yang telah mendelegasikan kekhalifahan mereka kepadanya. Jadi, jika tiba-tiba dia mendaulat diri sebagai penguasa mutlak yang tidak bertanggung jawab, diktator, maka sebenarnya dia tengah berperan sebagai pemeras ketimbang seorang khalifah, karena kediktatoran merupakan penolakan atas kekhalifahan umum (Al-Maududi, 1990). Bahwa Islam menolak kediktatoran, juga disetujui Imam Revolusi Islam Iran, Ayatullah Khomeini.
Dalam salah satu karyanya yang monumental, Hukumate-Islami (Pemerintahan Islam), Imam Khomeini menyatakan bahwa pemerintahan Islam bukanlah tirani yang kepala negaranya dapat bertindak sewenang-wenang menggunakan harta dan nyawa rakyat sekehendaknya, membunuh yang ingin dibunuhnya, memperkaya setiap orang yang dikehendakinya (Khomeyni, tt). Esposito dan Piscatori memasukkan Republik Islam Iran dan gerakan Hizb al-Nahda (Partai Kebangkitan) sebelumnya bernama Gerakan Kecenderungan Islam atau MTI (Mouvement de Tendance Islamique) di Tunisia sebagai penganut aliran pemikiran ketiga.
Menurut mereka, Konstitusi Republik Islam Iran khususnya pasal-pasal 1, 2, 3, 59 dan 62 mencerminkan bahwa di satu sisi Iran menganggap Tuhan sebagai penguasa mutlak yang semua perintahnya harus diikuti, sedangkan di sisi lain, memandang perlunya partisipasi rakyat di bidang-bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Di Tunisia, komitmen gerakan al-Nahda pada pluralisme politik tercermin dari pemikiran dua pemimpinnya, Rashid al-Ghannoushi dan Abdelfattah Mourou. Mereka mengkombinasikan apa yang disebut sebagai “kriteria Islam ” dan demokrasi.
Bagi Ghannoushi, demokrasi, kedaulatan rakyat, dan peranan negara “negara bukan berasal dari Tuhan tetapi dari rakyat … Negara harus memberikan manfaat bagi umat ” , pemilihan umum multipartai, dan aturan konstitusi adalah bagian dari “pemikiran Islam baru ” yang akar-akar dan legitimasinya terdapat dalam suatu interpretasi yang segar atau reinterpretasi sumber-sumber Islam. Sedangkan bagi Mourou, “undang-undang berasal dari Tuhan, tetapi kedaulatan ada di tangan rakyat “. Imam Khomeini bahkan pernah melontarkan istilah “Islamic democracy ” (Ramazani, 1990). Pada bagian lain, Imam Khomeini mengatakan bahwa memikul fungsi pemerintahan tidaklah menunjukkan status atau kelebihan kehormatan.
Menjalankan pemerintahan hanyalah alat untuk memenuhi kewajiban melaksanakan ketertiban dan keadilan Islam. Jadi pemerintah dan aturan hanyalah alat. Jika alat ini tidak digunakan untuk kebaikan atau mencapai tujuan yang mulia, alat ini tidak bernilai apa pun di sisi Allah (Khomeini, 1983; Sihbudi, 1996). VI Seorang pejabat senior AS, sebagaimana dikutip wartawan Reuter di Washington, Alan Elsner (1992), mengatakan, “Secara moral, bagaimana kita mendukung prinsip demokrasi di seluruh dunia tanpa risiko munculnya kekuatan-kekuatan anti-demokrasi dan anti-Barat di panggung kekuasaan.
Secara praktis, bagaimana kita memerangi fundamentalisme yang begitu sering anti-Barat dan anti-Amerika ” Pandangan bahwa radikalisme dan fundamentalisme Islam sebagai “anti-demokrasi, ” sekurang-kurangnya didasarkan pada dua alasan (Kayhan International, 23 Januari 1992). Pertama, masalah konflik kekuasaan. Dewasa ini, negara-negara Islam umumnya dikuasai elite politik sekuler, tapi mereka mendapat tantangan yang semakin meningkat dari gerakan Islam. Dalam beberapa kasus, gerakan Islam berhasil mengambil alih kekuasaan (di Iran atau Sudan, misalnya), atau berbagi kekuasaan dengan elite politik sekuler. Bisa dimengerti jika dalam pertarungan kekuasaan, elite sekuler takut pada gerakan Islam.
Alasan kedua, adalah “konflik peradaban “. Dewasa ini, baik dari segi kultur, politik, maupun ekonomi, Barat mendominasi dunia. Sedangkan peradaban lain dipandang sebagai marginal. Kebangkitan Islam dipandang sebagai ancaman terhadap kemapanan peradaban Barat, terutama sesudah runtuhnya komunisme. Dalam situasi seperti tersebut, kekuatan-kekuatan politik sekuler di negara-negara Islam mempunyai persamaan kepentingan dengan pihak Barat dalam hal menolak atau menentang validitas oposisi gerakan Islam. Padahal menolak hak bersuara bagi oposisi juga bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Namun, anehnya mereka yang menolak oposisi justru menuduh gerakan Islam sebagai anti-demokrasi.
Sebaliknya, bagi Esposito dan Piscatori (1991; Esposito 1992), Islam pada kenyataannya memberikan kemungkinan pada bermacam interpretasi; Islam bisa digunakan untuk mendukung demokrasi maupun kediktatoran; republikanisme maupun monarki. Menurut mereka, reaksi negatif umat Islam terhadap demokrasi Barat seringkali merupakan bagian dari penolakan umum terhadap pengaruh kolonial Eropa, ketimbang suatu penolakan umum pada demokrasi. Radikalisme muncul karena berbagai faktor, salah satunya justru karena tidak dijalankannya prinsip-prinsip pemerintahan dan politik yang demokratis.
Kemudian, standar ganda yang dipraktikkan negara-negara Barat, terutama AS, terhadap problematika politik di dunia Islam, khususnya menyangkut konflik Arab-Israel. Fundamentalisme dan radikalisme sepanjang hanya pada tataran pemikiran, jelas bukan merupakan ancaman terhadap demokrasi. Ia baru mengancam demokrasi ketika radikalisme sudah menjurus pada aksi-aksi kekerasan yang menimbulkan korban di kalangan warga sipil. Namun, kekerasan serupa yang dilakukan institusi negara dengan mengatasnamakan demokrasi.
Apa yang dilakukan para aktor non-negara terhadap berbagai kepentingan publik jelas merupakan tindak kekerasan yang dapat digolongkan sebagai terorisme. Namun, aksi kekerasan negara-negara tertentu, khususnya Amerika Serikat dan Israel, yang menimbulkan korban di kalangan warga sipil, seperti di Palestina, Afghanistan, dan Irak pun jelas merupakan aksi terorisme. Oleh sebab itu, memandang masalah terorisme haruslah secara adil dan tidak menggunakan standar ganda.
Penulis : Riza Sihbudi (Peneliti LIPI)
Sumber : Republika (23 & 24 September 2004)