Makna Qurban Dilihat dari Pelbagai Sisi
ibadah.co.id –Sebagai salah satu ibadah yang disyariatkan, Qurban tentu saja memiliki maksud-maksud tertentu yang sangat bermanfaat bagi pelaku Qurban dan masyarakat secara umum, baik langsung maupun tidak langsung. Seperti menambah rasa ketaatan kepada Allah dan membahagiakan lebih banyak lagi pada sesama.
Berkenaan dengan itu, berikut ini dipaparkan secara singkat dan jelas terkait seluk-beluk ibadah Qurban, mulai dari pengertian sampai pada bagaimana pandangan ilmu-ilmu lain mengenai Qurban tersebut. Tentu saja dari sisi manfaatnya juga diketengahkan.
Pengertian, Dalil, dan Hukum Perintah Qurban
Qurban, yang dalam sejarahnya telah diperaktikkan sejak zaman nabi Adam itu memiliki makna “dekat” atau “pendekatan”, yakni bentuk Isim Masdar “Qurbaanan” dari kata Fi’il Madhi, Qarraba – Yuqarribu – Qurbaanan. Dalam lafal agama berarti sebuah usaha mendekatkan diri kepada Allah Yang Maha Kuasa, yang realisasinya dengan menyerahkan sebagian nikmat yang telah diterima dari Allah dan diserahkan kepada Allah Swt.
Sedangakan secara istilah, Qurban adalah penyembelihan hewan tertentu (Kambing, Unta, Sapi, dan Kerbau) pada hari sebelihan (yaumul nahar) tanggal 10 Dzulhijjah (selepas shalat ‘Idul Adha) dan hari tasyriq tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah dalam rangka ibadah kepada Allah Swt.
Adapun dalil-dalil yang menjadi dasar berkenaan dengan perintah ibadah Qurban ini adalah sebagai berikut:
- Surat al-Kautsar (108) ayat 1-2:
Sesungguhnya kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena tuhan-Mu, dan berqurbanlah”.
2. Surah Al Hajj (22) ayat 36 :
Dan telah kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebagian dari pada syi’ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak daripadanya, maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelih dalam keadaan berdiri (dan telah terikat ). Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami menundukkan unta-unta itu kepada kamu, mudah-mudahan kamu bersyukur
3. Hadis Nabi SAW riwayat Ahmad dan Ibnu Majah, dari Abu Hurairah :
“Barang siapa yang mendapatkan keluasaan (rizki untuk berqurban), tetapi ia tidak berqurban (dengan menyembelih binatang) maka janganlah mendekati tempat shalat Kami”.
Berdasarkan dalil-dalil tersebut, para ulama berijtihad terkait dengan status hukum Qurban, yang kemudian menghasilkan hukum sebagai berikut:
Bagi Imam Syafi’i, menunaikan ibadah Qurban itu hukumnya Sunah Muakkad, yakni sunah yang sangat diutamakan bagi setiap individu muslim dan muslimat yang merdeka, berakal, baligh (dewasa), dan juga memiliki berkemampuan melakukannya. Sekurang-kurangnya sekali seumur hidup, seperti halnya ibadah Haji.
Terkait dengan hal “berkemampuan” atau “mampu”, ada yang berpendapat wajib hukumnya melaksanakan ibadah Qurban bagi umat Islam yang memiliki kemampuan (kaya), sebagaimana sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam yang telah disebutkan di atas.
Adapun kreteria menurut para ulama terekaiat apakah seseorang itu sudah mampu atau tidak untuk berqurban sebagai berikut: Pertama, sebagian ulama berpendapat, bila seseorang tersebut telah memiliki uang nishab zakat, maka ia berkewajiban melakukan ibadah Quraban. Kedua, seseorang digolongkan kaya apabila orang tersebut mampu memebeli hewan untuk ibadah Qurban, sekalipun dengan berhutang, asalkan kedepannya ia dapat melunasi hutangnya itu.
Hukum Qurban menjadi wajib manakala seseorang tersebut telah bernadzar (berjanji) –membuat penentuan (at-ta’yin) untuk melaksanakannya. Misalnya dengan berkata “Kambing ini akan aku jadikan Qurban tahun depan”. Orang yang telah mengucapkan nadzar tersebut wajib baginya melaksanakan nadzar tersebut. Hal ini berdasarkan hadis Nabi Saw. yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, “Barang siapa bernadzar untuk taat kepada Allah maka laksanakan.” (HR. Bukhari dan Muslim). Jika tidak dilakukan, maka hukumnya adalah haram.
Adapun binatang yang diperbolehkan untuk berqurban adalah unta, sapi, kerbau, dan kambing. Kalau tidak mampu, memang tidak wajib.
Sedangkan daging Qurban boleh dibagikan kepada tiga bagian menurut syariat. Pertama, boleh dimakan keluarga sendiri paling banyak 1/3 bagian. Kedua, 1/3 bagian untuk fakir miskin, dan ketiga, 1/3 bagian lagi untuk handai tolan dan kenalan. Bisa juga secara keseluruhan diserahkan kepada panitia dan terserah panitia yang membagikannya. Bila hanya minta pahanya saja bagi berqurban masih diperbolehkan asal bukan qurban nadzar.
Syahdan, ibadah Qurban merupakan ibadah hablum mina Allah (berhubungan langsung dengan Allah) dan notabene hablum mina nasy (berhubungan dengan manusia). Oleh karena itu sudah barang tentu berkaitan erat dengan aspek-aspek berikut ini.
Aspek Sejarah
Sejarah mencatat bahwa peristiwa ibadah Qurban ini sudah berlangsung sejak masa manusia pertama hidup, yakni pada periode zaman Nabi Adam As yang diperankan oleh anak-anaknya, Qabil dan Habil.
Diceritakan, pada suatu ketika kedua anak Adam ini hendak dinikahkan dengan saudara kembarnya secara silang (saudara kembar Qabil-Iklima dan Habil-Labuda), yakni Qabil dengan Labuda dan Habil dengan Iklima. Sebagai syarat pernikahan itu Allah memerintahkan kepada keduanya untuk melakukan Qurban.
Siangkat cerita, Qabil sebagai petani mengeluarkan hasil pertanaiannya yang kurang bagus untuk dipersembahkan atau diqurbankan kepada Allah. Sementara Habil sebagai peternak mengeluarkan hasilnya yang baik-baik untuk diqurbankan. Diterangkan dalam sejarah, harta yang diqurbankan itu disimpan di suatu tempat, di Padang Arafah yang sekarang menjadi napak tilas bagi para jemaah haji. Ketika barang-barang Qurban itu dipersembahkan, tiba-tiba api dari langit menyambar Qurbannya Habil (binatang ternak “kambing” yang gemuk, sehat, dan tanpa cacat). Sedangkan Qurbannya Qabil (hasil pertanian, seperti sayur-sayuran dan buah-buahan yang jelek-jelek dan tak layak) masih utuh. Ini menandakan hanya Qurbannya Habil-lah yang diterima oleh Allah, sedangkan Qurbannya Qabil tidak. Hal ini diceritakan dalam al-Qur’an Surat al-Maidah ayat 27.
Periode kedua, yakni zaman Nabi Ibrahim As. Dikisahkan dalam Al-Qur’an surat Ash-Shafaat ayat 100-111 yang menceritakan mengenai qurban dan pengorbanan. Ketika Nabi Ibrahim berusia 100 tahun beliau belum juga dikaruniai putra oleh Allah dan beliau selalu berdoa: Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku seorang anak yang saleh” (Q.S 37:100). Kemudian dari istrinya yang kedua yakni Siti Hajar yang dinikahinya ketika Nabi Ibrahim mengadakan silaturahmi ke Mesir (setiap kedatangan pembesar diberi hadiah seorang istri yang cantik oleh pembesar Mesir). Dari Siti Hajar lahirlah seorang putra yang diberi nama Islam, ia lahir di tengah-tengah padang pasir yang disebut -bahkan kemudian dikenal dengan- Mekkah.
Dalam suatu riwayat kira-kira berusia 6-7 tahun. Sejak dilahirkan sampai besar itu Nabi Ismail menjadi kesayangan. Tiba-tiba Allah memberi ujian kepadanya, sebagaimana firman Allah dalam Quran Surat Ash Shaffaat : 102 : “Maka tatkala sampai (pada usia sanggup atau cukup) berusaha bersama Ibrahim, Ibrahim berkata : Hai anakku aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pemdapatmu ” Ia menjawab: “hai bapakku kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, Insyaallah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”.
Akhirnya ketika mereka tiba di Jabal Qurban kira-kira 200 meter dari tempat tinggal Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail, sebagaimana di firmankan oleh Allah didalam surat Ash-Shaffaat ayat 103-107: “Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis (nya), (nyatalah kesabaran keduanya kamu telah membenarkan mimpi itu, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang yang berbuat baik”. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.”
Periode terakhir pada zaman Nabi Muhammad Saw. Diceritakan setelah Rasulullah menyelesaikan Haji Wada di Mina, ia menyembbelih 100 ekor unta, 70 disebelih sendiri dan 30 oleh Ali bin Abu Thalib. 100 ekor unta tersebut disembelih selepas melaksanakan shalat ‘Idul Adha. Perintah tersebut sebagaimana tertera dalam surat al-Hajj ayat 36 :
Dan telah kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebagian dari pada syi’ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak daripadanya, maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelih dalam keadaan berdiri (dan telah terikat ). Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami menundukkan unta-unta itu kepada kamu, mudah-mudahan kamu bersyukur.
Sisi Teologis
Dari sisi teologis (ketuhanan), ibadah Qurban adalah sebuah bentuk ketaatan dan kesabaran dalam melaksanakan perintah Allah. Dengan berqurban seseorng tersebuat mencerminkan akan keikhlasan niat dan ketangguhan iman juga ketakwaan yang murni kepada Allah Swt. Sebab dengan berqurban, seseorang itu akan semakin mendekatkan diri kepada Allah, Tuhan Semesta Alam.
Ibadah Quraban yang paling sempurna ditunjukkan oleh nabi Ibrahim ketika diperintahkan Allah lewat mimpinya untuk menyembelih anaknya. Ini adalah contoh ketauhidan atau cara berke-Tuhan-nan yang sebenarnya.
Walaupun nabi Ibrahim sangat mencintai anaknya, Ismail, namun demi rasa kehambaannya kepada Allah, ia bebaskan segala yang bersifat materi dan menuju kepada Allah semata. Jadi semua yang dapat menghalangi akan penghambaan kepada Allah, baik itu yang bersifat fisik –keduniaan, maupun kecintaan, jiwa, dan ruh sekalipun, nabi Ibrahim tinggalkan, demi untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta secara murni.
Dimensi Spiritual
Secara spiritual, ibadah Qurban merupakan bentuk sarana pemabuktian keimanan seoranag hamba kepada Tuhannya. Seorang hamba yang berqurban dengan tulus ikhlas dan murni karena menjalankan perintah Allah, pasti akan ditumbuhkan segala ketenangan batin hamba tersebut. Termasuk juga ditumbuhkan soal peneriamaan keikhlasannya. Karena keikhlasan sama halnya dengan keimanan yang adakalanya naik dan turun. Dengan melakukan ibadah Qurban, diharapkan keikhlasan seorang hamba terseabut bisa semakin tumbuh dengan baik.
Ibadah Qurban juga merupakan salah satu bukti ketaatan seorang hamba kepada Allah, artinya tiada lain yang ia taati selain Allah semata. Dengan Qurban ini seseorang membuktikan dan mengharapkan ketaatannya kepa Allah akan semakin bertambah dalam segala bentuknya. Artinya tidak hanya dalam hal berqurban saja, melainkan ditambah ketaatannya dalam ibadah-ibadah yang lainnya. Singkatnya, ditambah ketaatan dalam hal menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Selaian itu, ibadah Qurban ini juga melatih seseorang akan pengorbanan, yakni pengoraabanan yang direfleksikan dalam bentuk materi untuk dipersembahkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Juga bermakna melatih seseorang untuk siap berqurban apapun dan dalam keadaan apapun, seperti yang dicontohkan oleh nabi Ibrahim ‘alaihi salam. Ia rela hendak mengorbankan anak yang sangat dicintaianya demi Allah, yang kemudian Allah ganti dengan hewan sembelihan yang sangat baik.
Perspektif Sosial
Qurban tak melulu ibadah yang bersifat ubudiyah (penghambaan kepada Allah), melainkan juga bersifat sosial yang berhubungan dengan sesama manusia, yakni melalui pengorbanannya terhadap sebagian harta. Sebagai makhluk sosial, manusia tak bias hidup tanpa orang lain. Oleh sebab itu saling tolong menolong antara sesama adalah hal yang diwajibkan. Salah satunya adalah dengan memberikan daging Qurban kepada golongan fakir miskin. Sebab tidak semua orang, baik di desa maupun di kota yang setiap harinya bisa makan daging. Jadi dengan adanya Qurban, mereka kaum fakir miskin merasa gembira karena mendapatkan daging Qurban.
Hal ini sesuai dengan perintah dan dicontohkan Rasulullah ketika Ia berqurban. Beliau menganjurkan daging Qurban itu diberikan kepada yang berhak, tentunya bukan orang kaya, melainkan kepada mereka yang tergolong pada kaum masakin.
Di samping itu, ibadah Qurban ini juga akan membawa kemuliaan tersendiri bagi pelakunya sebagai seorang hamba. Karena ia yang berqurban tersebut mampu mengalahkan segala keinginan pribadinya untuk bersenang-senang sendiri, dialihkan untuk berqurban demi membuat senyum atau membahagiakan orang lain di sekitarnya.
*Ditulis oleh Anwar Syueb, redpel Majalah Ibadah