Apa Salah Cadar, Pak Menteri?
Ibadah.co.id-Menteri Agama Republik Indonesia Fachrul Razi melontarkan wacana pelarangan niqab atau cadar dan celana di atas mata kaki alias cingkrang untuk dipakai siapa pun dalam lingkungan instansi pemerintah.
Fachrul mengatakan, pemakaian cadar merupakan kebudayaan orang Arab, bukan Indonesia. Selain itu, wacana ini ia lontarkan demi alasan keamanan, merujuk masalah radikalisme.
Kepada DW Indonesia, Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas, mengatakan bahwa rencana pelarangan ini bertentangan dengan konstitusi Indonesia yakni UUD 1945.
“UUD Pasal 29 ayat 1, Negara berdasar atas Ketuhanan yang Maha Esa. Kedua, negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayannya itu. Memakai cadar menyangkut keyakinan atau tidak? Jadi kalau ada larangan, maka secara hukum dia batal demi hukum karena bertentangan,” ujar Anwar, Jumat (1/11/2019).
Anwar mengatakan, cara berpakaian seseorang tidak berhubungan dengan atau menentukan tindakan yang mereka lakukan, dalam hal ini perihal masalah keamanan.
Ia merujuk kepada kasus penembakan masjid di Christchurch, Selandia Baru.
“Yang membunuh orang di Christchurch pakai jubah atau pakaian barat? Kalau begitu seluruh orang pakai pakaian barat dilarang? Karena yang membunuh orang di Christchurch itu pakaian barat. Oleh karena itu jangan dilekatkan dengan simbol-simbol,” papar Anwar.
“Tingkat kriminalitas, radikalisme, terorisme di barat itu tinggi sekali. Lihat pakaiannya, ada peraturan yang melarang pakaian yang mereka pakai?” tegas Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu saat diwawancarai DW Indonesia.
Lebih lanjut menurut Anwar, jika kebijakan ini jadi diterapkan, akan terjadi perdebatan di masyarakat luas.
Ia pun mengimbau agar Fachrul melibatkan para ulama dalam membahas kebijakan-kebijakan terkait masalah keagamaan.
“Kalau menyangkut ajaran agama panggil ulama, konsultasi dengan ulama, karena yang tahu itu adalah ulama,” kata dia.
Cadar; Menag, ASN dan Islam dalam Diskursus Indonesia
Dihubungi secara terpisah, Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI yang membidangi masalah agama dan sosial, Ace Hasan Syadzili, berpendapat, penerapan kebijakan mengenai larangan pemakaian cadar dan celana cingkrang di instansi pemerintah harus didasari data dan fakta objektif.
“Apakah ada kesesuaian antara penggunaan cadar atau celana cingkrang dengan pemahaman seseorang dalam loyalitasnya terhadap Pancasila dan UUD 1945 atau tidak?” jelas Ace saat dihubungi DW Indonesia di Jakarta, Jumat siang.
“Yang harus dipastikan bahwa kebijakan tersebut harus didasarkan pada suatu fakta objektif di mana penggunaan (celana) cingkrang dan cadar tersebut harus didasarkan pada data yang kuat. Seberapa besar, seberapa banyak ASN yang mengunakan cadar dan (celana) cingkrang?” papar politikus Partai Golkar ini.
Ace mengimbau agar Kementerian Agama lebih berhati-hati dalam membuat kebijakan yang berpotensi menimbulkan kontroversi berkepanjangan.
“Ada juga orang memakai cadar dan celana cingkrang yang mereka semata-semata menjalankan sunnah, tapi belum tentu mereka tidak mengakui NKRI. Harus agak hati-hati membuat peraturan. Kalau soal cadar dan cingkrang itu tidak boleh, lalu bagi orang yang berkeyakinan menggunakan baju yang terbuka, mereka (pengguna cadar) juga akan mempertanyakan mengapa baju tertutup tidak boleh tapi yang terbuka dibolehkan,” tegas Ace.
Ace menambahkan, dalam menangani masalah radikalisme, Kementerian Agama wajib memberikan pemahaman kepada masyarakat Indonesia mengenai Islam dan keberagaman moderat dengan pendekatan khusus.
“Apalagi yang dilontarkan menteri agama, mohon dengan segala maaf beliau ‘kan latar belakangnya sebagai militer. Pendekatan militer kemudian diterapkan dalam pendekatan agama, pendekatan agama ya memang membutuhkan pendekatan yang lebih dialogis dan diskursif,” ujar Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI itu
Sebelumnya. Menteri Agama Fachrul Razi menyampaikan wacana pelarangan cadar dan celana cingkrang di instansi pemerintah karena tidak sesuai dengan aturan berseragam.
“Memang nantinya bisa saja ada langkah-langkah lebih jauh, tapi kita tidak melarang niqab, tapi melarang untuk masuk instansi-instansi pemerintah demi alasan keamanan. Apalagi kejadian Pak Wiranto yang terakhir kan,” ujar Fachrul. (RB)