Pakar Studi Islam Amerika Serikat Jelaskan Hubungan Islam dan Konflik
Ibadah.co.id – Pakar studi Islam dan Hubungan internasional dari George Town University, Washington DC, Amerika Serikat, John L Esposito jelaskan hubungan Islam dan konflik. Ada berbagai faktor yang menyebabkan kemunculan konflik dan Islam. Ajaran Islam tidak mengandung ajaran nilai-nilai kekerasan, namun karena ada faktor lain yang menyebabkan hal itu, seperti kekuasaan dan politik.
Seperti dilansir republika.co.id pada John L Esposito, pakar studi Islam dan hubungan internasional dari George Town University, Washington DC, AS. Bersama rekannya, Dr Dalia Mogahed, Esposito mengolah hasil survei Gallup World selama enam tahun. Yang ingin mereka tangkap adalah suara mayoritas tersembunyi dari 1,3 miliar Muslim di dunia, yang kerap tenggelam ditimpa kutub-kutub ekstrem. Hasilnya dirangkum dalam buku: Saatnya Muslim Bicara; Opini Umat Muslim tentang Islam, Barat, Kekerasan, HAM, dan Isu-isu Kontemporer lainnya.
Memang, ada kasus tertentu di mana agama menjadi sumber konflik, namun sering juga menunjukkan bahwa ada ketidakadilan yang berdimensi politis dan ekonomis dalam konflik tersebut. Lalu, agama menjadi cara untuk melegitimasi dimensi itu.
Dalam sebuah wawancara dengan Harian Republika pada 2008 lalu, yang dikutip Ahad (19/7), Espostio menjelaskan mengapa sejumlah konflik dan kekerasan justru melibatkan komunitas Muslim, padahal mereka meyakini Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin?
Esposito menjelaskan, ada beberapa hal. Banyak negara Muslim yang masih memiliki rezim otoriter. Ada gap ekonomi yang lebar antara si miskin dan si kaya. Jadi, ada tingkat kekecewaan yang tinggi. Namun, sebagian besar orang membiarkan semua itu berlangsung dengan alasan: tidak ada pilihan lain, karena pemerintahan memiliki pasukan keamanan dan militer.
“Ada yang ingin menentang, namun banyak di antara pemerintahan tersebut tidak membolehkan oposisi,” kata dia.
Akhirnya, menurut dia, kondisi ini menimbulkan pertentangan di dalam masyarakat. Kemudian, kemarahan itu juga meletup pada pihak di luar pemerintahan yang mendukung pemerintahan yang represif. Misalnya, warga Iran bereaksi negatif kepada Shah Iran dan pemerintah AS yang dinilai sebagai pendukung utama Shah.
Namun, dia menegaskan agama juga bisa ‘digunakan’ karena ada masalah internal dalam agama itu. Di tempat lain, ada pula teologi ekstrem, pemimpin keagamaan yang ekstrem. Jika terjadi perpaduan imam yang radikal dan teologi yang radikal, ditambah masalah sosial-politik, maka bisa meledak.
“Ini yang kita lihat di Nigeria, Mesir, Tunisia, Pakistan. Jadi, sepertinya cita-cita yang dicapai adalah hidup damai dan juga sejahtera ini diikuti dengan pergantian rezim, kebebasan yang lebih luas, lebih banyak kesempatan, serta perkembangan ekonomi,” ujar dia.
Dia menjelaskan, contohnya, Indonesia adalah negara yang sedang dalam transisi. Namun, bukan berarti tidak ada lagi masalah, karena di lain pihak rakyat memiliki harapan tinggi. Jadi, jika mereka kecewa dengan pemerintahan yang dipilih secara demokratis, maka kekecewaan yang muncul akan sama halnya seperti [kekecewaan] pada pemerintahan otoriter.
Nah, pemerintah Barat yang mendukung pemerintahan tersebut akan dipandang sebagai bagian dari masalah, bukan bagian dari solusi. Setelah tragedi 11 September, negara manapun, baik negara Muslim maupun Israel, menggunakan terorisme sebagai dalih untuk membungkam oposisi dengan menyebutnya ektremis. Jadi, semua oposisi disebut ekstremis.
Esposito dengan yakin menyatakan masalahnya bukan pada nilai-nilai dalam Islam yang menyebabkan konflik itu. Akan tetapi soal politik dan kekuasaan. Setiap pemimpin tidak ada yang ingin kehilangan kekuasaan.
“Never! Kalau bisa, sampai maut menjemput, mereka tetap berkuasa. Lihat saja Suriah, Mesir, Libya. Itu juga alasan kelompok keagamaan ekstrem,” kata dia.
Mereka, menurut Esposito, menggunakan Islam. Padahal, mereka menginginkan kekuasaan, ingin menguasai pemerintahan. Lihat saja pertentangan di antara pemimpin agama sendiri: mereka bertentangan karena ingin menjadi yang paling penting. (RB)