Pakar Urusan Global Sebut Hagia Sophia Tegaskan Turki Sebagai Negara Mayoritas Muslim
Ibadah.co.id – Pakar Urusan Global, Sami Al-Arian menyebut dengan beralihfungsinya Hagia Sophia semakin menegaskan bahwa Negara Turki adalah negara dengan mayoritas muslim. Perubahan status Hagia Sophia ini memang mengalami berbagai macam tanggapan. Meski begitu pemerintah Turki tetap kokoh dengan pendiriannya.
Seperti dilansir republika.co.id pada 19/07/2020, Pakar Urusan Global, Sami Al-Arian mengatakan, keputusan Turki untuk menetapkan kembali Hagia Sophia sebagai masjid adalah suatu cara untuk menegaskan kedaulatan mereka sebagai negara mayoritas Muslim.
“Turki berpaku pada suara sah rakyat dan pemerintah di kawasan itu,” kata Sami Al-Arian, dalam sebuah diskusi virtual seperti dikutip Anadolu Agency, Sabtu (18/7) kemarin.
Diskusi yang menarik pembahasan, Keputusan Hagia Sofia dan Implikasinya Geo-politik, sebagai tema utama itu, dipandu oleh Pusat Islam dan Urusan Global (CIGA) yang berbasis di Istanbul.
Direktur Utama CIGA itu mengatakan, saat konversi Hagia Sophia, dari gereja menjadi masjid pada 1453, setelah penaklukkan Ottoman, juga menjadi penegasan kekuatan Islam di era Bizantium.
Begitu pula saat pengalihfungsian Hagia Sophia menjadi museum, dimana Hagia Sophia kembali dijadikan ikon evolusi Turki sebagai negara sekuler yang kuat.
“Konversi Hagia Sophia menjadi museum adalah ikon evolusi negara Turki sekuler yang kuat dan sebagian peredaan Barat,” ujar Al-Arian.
Di sisi lain, Al-Arian mengungkap 400 gereja dan sinagog di Turki yang telah dialihfungsikan kembali menjadi masjid dengan dukungan negara. Dia mengatakan, ratusan tempat ibadah tersebut, sebelumnya dikonversi pada akhir abad ke-15, ketika Turki berinkuisisi dengan Spanyol.
“Ketika Inkuisisi Spanyol terjadi menjelang akhir abad ke-15, ratusan dan ratusan masjid dan bangunan keagamaan [diubah] menjadi gereja dan bangunan Katolik dan tidak ada yang membicarakannya,” kata Al-Arian.
“Sedangkan Yunani tidak memiliki masjid, meskipun terdapat riwayat Muslim sepanjang sejarah negara mereka,” sambungnya.
Pekan lalu, pengadilan tinggi Turki membatalkan dekrit Kabinet 1934, yang menjadikan Hagia Sophia sebagai museum, dan mengembalikan statusnya sebagai masjid.
Yasin Aktay, penasihat senior untuk pemerintah Turki, mengatakan ada dukungan bulat untuk pembukaan kembali Hagia Sophia sebagai masjid.
“Ini (dukungan) menunjukkan bagaimana Hagia Sophia [memiliki] nilai yang sama bagi orang-orang di Turki,” kata Aktay.
Aktay juga menegaskan, keputusan pengalihfungsian Hagia Sophia ini juga tidak bertentangan dengan ajaran agama manapun. Dia juga meyakinkan, pengkonversian Museum Hagia Sophia menjadi masjid tidak akan mengubah atau merusak aspek historis yang ada di dalamnya.
“Kami sekarang berada di Turki baru. Keputusan ini tidak bertentangan dengan agama apa pun dan mengubah Hagia Sophia [pada 1934] adalah keputusan yang luar biasa,” katanya.
“Tidak ada alasan untuk khawatir tentang Hagia Sophia, semua aspek historis dan budaya akan dilindungi,” ujar ilmuwan politik itu.
Pemeliharaan aspek sejarah ini, kata dia, sudah dicontohkan pada masa Utsmani, dimana mereka tidak menghancurkan Hagia Sophia yang saat itu merupakan sebuah gereja, namun justru mengubahnya menjadi masjid.
“Utsmani tidak menghancurkan tempat keagamaan, mereka juga bisa mengubah semua tempat keagamaan [non-Muslim] menjadi masjid, tetapi mereka tidak melakukannya,” jelasnya. (RB)