Ibadah.co.id – Merebatnya virus corona (COVID19) dengan cepat di seluruh negara, sehingga sebagian negara memiliki kebijakan tersendiri, termasuk pemerintah hentikan shalat jumat demi melindungi negara dari wabah virus corona dari Wuhan Cina.
Banyak kebijakan-kebijakan pemerintah, baik larangan warga negara asing berkunjung ke suatu negara, menutup akses pariwisata, ibadah, dan kegiatan yang lain. Tidak hanya itu, virus corona dapat meminimkan pendapatan suatu negara, misalnya harga minyak di Arab Saudi naik, pendapatan tahunan dari parawisata dan kegiatan umrah dan haji ditunda. Di lain itu, banyak perusahaan dan rapat tertunda gegera virus corona yang semakin memawabah.
Dengan demikian, tim medis negara dan kelompok agama saling bahu membahu untuk melindungi dari wabah virus corona, minimal kekhawatiran yang sangat dari masyarakat terhadap virus corona sehingga menimbulkan kelompok bisnis ilegal penjualan masker.
Dalam membatasi penyebaran virus corona, sebagian negara membatasi interaksi antar warga negara, bahkan sebagian negara yang lain menghentikan kegiatan sholat jumat, seperti kebijakan di negara Iran.
Pertanyaannya, Hukum Pemerintah Hentikan Shalat Jumat Sebab Virus Corona?? Dikutip di laman NU Online, jika dikaji secara fiqih terdapat perbedaan ulama madzah dalam memandang suatu permasalahan. Sebagian ulama mengharuskan izin pemerintah sebagaimana pendapat Imam Abu Hanifah dan satu pendapat dalam mazhab Hambali. Sedangkan sebagian ulama lainnya tidak menjadikan izin pemerintah sebagai syarat sah pendirian Jumat sebagaimana pendapat tiga ulama mazhab lainnya.
نعم يشترط عنده إذن السلطان في إقامتها…قوله (ولا يشترط عندنا إذن السلطان) عبارة الروض وشرحه ولا يشترط حضور السلطان الجمعة ولا إذنه فيها كسائر العبادات لكن يستحب استئذانه فيها اه
Artinya, “Tetapi menurut Imam Abu Hanifah, izin pemerintah menjadi syarat dalam pelaksanaan ibadah Jumat… (menurut kami Mazhab Syafi’i, izin pemerintah bukan syarat) seperti ungkapan Raudhatut Thalib dan syarahnya. Kehadiran pemerintah dan izinnya bukan syarat pelaksanaan Jumat sebagaimana ibadah lainnya. Tetapi (kita) dianjurkan untuk meminta izin pemerintah dalam pelaksanaan Jumat.” (Sayyid Bakri bin Sayyid Muhammad Syatha Ad-Dimyathi, I’anatut Thalibin, [Daru Ihyail Kutubil Arabiyyah, tanpa tahun], juz II, halaman 58).
Adapaun pendapat Imam Syafi’i, Hambali, Maliki menurut qaul shohih tidak menjadikan syarat sah pemerintah dalam pelaksanaan ibadah jumat. Pasalnya, sholat jumat merupakan ibadah jasmani yang tidak memerlukan wewenang pemerintah.
واعلم) أن إقامة الجمعة لا تتوقف على إذن الإمام أو نائبه باتفاق الأئمة الثلاثة خلافا لأبي حنيفة وعن الشافعي والأصحاب أنه يندب استئذانه فيها خشية الفتنة وخروجا من الخلاف
Artinya, “Ketahuilah, pelaksanaan Jumat tidak tergantung pada izin pemerintah atau wakil pemerintah menurut kesepakatan tiga imam mazhab selain Abu Hanifah. Dari As-Syafi’i dan ulama pengikutnya, (kita) dianjurkan untuk meminta izin pemerintah dalam pelaksanaan Jumat karena khawatir fitnah dan keluar dari khilaf,” (Sayyid Bakri bin Sayyid Muhammad Syatha Ad-Dimyathi, I’anatut Thalibin, [Daru Ihyail Kutubil Arabiyyah, tanpa tahun], juz II, halaman 58).
Oleh karena itu, perbedaan pendapat ulama fiqih dalam menggali suatu hukum adalah rahmat. Artinya, sebagai umat Islam ASWAJA, jangan menyalahkan pemahamanan orang, siapa tahu pemahaman memiliki hujjah dan dasar itu sendiri. (RB-NU Online)