Islam Kemanusiaan Tanpa Kekerasan
Belakangan ini, perang ideologi (simbol) semakin masif merambah ke pelbagai lini kehidupan masyarakat, peperangan itu sejenis munculnya potensi kekerasan atas nama agama, dan penolakan Pancasila sebagai ideologi negara. Kekerasan itu tentu tampak serius memberikan spirit perlawanan agama terhadap simbol-simbol negara yang merusak esensi hidup dalam berislam, berbangsa, dan bernegara.
Penolakan terhadap ideologi Pancasila, dan masifnya aksi-aksi kekerasan atas nama agama karena sebagian kelompok Islam yang terpapar paham ekstremisme, radikalisme, dan terorisme sudah terjebak. Salah satu kelompok yang getol menolak Pancasila dan sistem demokrasi ini telah memperlihatkan seseorang yang hanya memahami jihad dan agama dengan sempit.
Menurut Haidar Nashir, dalam buku (Bela Islam Indonesia Bela Kemanusiaan: 2019, 19), mengatakan, “di antara kelompok-kelompok yang memiliki karakter radikal di antaranya Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dan Komite Persiapan Penegakan Syariat Islam (KPPSI)”. Tiga kelompok ini memiliki ciri legal-formal dan sebar harfiah dalam memahami ayat untuk menampilkan Islam.
Dari sebagian kelompok yang telah terpapar itu, tergolong kelompok yang menginginkan negara Khilafah Islamiyah dengan didasari kekerasan atas nama agama, krisis nasionalisme, dan menginginkan formalisasi syariat Islam. Hal demikian yang menampilkan aspirasi bergantinya hukum Indonesia ke hukum Islam serta sistem pemerintahan Islam (daulah Islamiyah).
Pun asosiasi kelompok Islam radikal tersebut memang bersentuhan dengan paham keagamaan yang menggunakan tafsir atas dalil agama secara tekstual. Sedangkan, esktremisme dan radikalisme adalah doktrinasi agama yang tidak didasarkan pada dalil-dalil kegamaan yang akurat-kontekstual. Sehingga, agama kian hari tidak menebar kedamaian, tetapi kemarahan yang berpotensi memberontak negara dan menebar kekerasan.
Apalagi akar persoalan ini terkait legitimasi terhadap pergantian ideologi negara Pancasila kini berupaya menggeser peradaban bangsa menjadi lebih kepada simbol agama. Agama yang harusnya membawa misi keumatan, keagamaan, kemanusiaan, dan keadilan. Kini, agama memberontak kebijakan negara yang sudah disepakati oleh para tokoh dan ulama bangsa.
Peran Agama dan Negara untuk Kemanusiaan
Selama ini, fakta pengabaian terhadap sisi nilai kemanusiaan ini sebenarnya melawan Pancasila yang memang harus kita sepakati sebagai bentuk model ideologi negara yang final dan sakral. Selain itu, Pancasila adalah hasil dari ijtihad politik the founding fathers dan para ulama kita yang memikirkan masa depan kehidupan bangsa dan negara.
Oleh karena itu, Lufaefi mengatakan dalam karya (Bela Islam Indonesia Bela Kemanusiaan: 2019, 37). Bahwa, “Indonesia sebagai negara keragaman agama, suku, adat istiadat, budaya, bahasa, dan sebagainya, menjadikannya harus selalu berupaya dalam mengharmoniskan satu dengan yang lainnya, agar selalu tercipta negara yang utuh dan berperadaban”.
Pandangan penulis di atas yang kemudian, Pancasila kian menjadi sumber normatif di dalamnya terdapat prinsip dasar keislaman (Islamiyah), keindonesiaan (wathaniyah), dan kemanusiaan (basyariyah) sebagai simbol pengejawantahan nilai-nilai Pancasila dalam mewujudkan kehidupan masyarakat yang toleran, tentram, damai, dan aman.
Dalam perspektif qur’ani, Lufaefi dengan tegas mengutip sepatah dalil ayat al-Qur’an (Q.S. al-Baqarah [2] 208), (Bela Islam Indonesia Bela Kemanusiaan: 2019, 38). “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu”.
Artinya, dalam ayat al-silm; Islam, yang bisa diartikan dengan dua arti di atas, terdapat sebuah pernyataan bahwa “Agama Islam adalah agama yang mendamaikan, menyelamatkan, lezat, dan nikmat, mudah dan tidak mempersulit, ringan dan tidak memberatkan, menyenangkan dan tidak menakutkan”. Dari sisi keindonesiaan, memang ayat ini menunjukkan seseorng wajib mewujudkan negara yang adil dan damai, serta tentram.
Bagi Lufaefi, eksistensi negara adalah untuk menjaga ketertiban dan keamanan bangsa. Sedangkan, peran agama mengajak umat atau masyarakat untuk menyampaikan pesan damai dalam kehidupan bernegara. Alhasil, peran negara dan agama harus saling bersinergi mengatasi kekerasan-kekerasan atas nama agama yang menimbulkan kejahatan kemanusiaan.
Dalam konteks Indonesia, respon pemerintah cukup reaktif menanggulangi problematika kebangsaan. Hal ini sungguh mencerminkan dari tujuan esensi Pancasila dan demokrasi tanpa harus kita setengah mati berupaya mengganti ideologi dengan sistem khilafah Islamiyah atau negara Islam. Namun, negara dan agama sudah berjihad memperkecil ruang gerak paham ekstremisme, dan radikalisme (kekerasan).
Menebarkan Islam Kemanusiaan
Di tengah maraknya paham radikalisme dan esktremisme di Indonesia ini. Islam rahmah hadir sebagai agama yang peduli akan kemanusiaan, Islam dan kemanusiaan tidaklah mungkin melegalkan aksi-aksi kekerasan atas nama agama. Dan tanpa harus mengingingkan model khilafah Islamiyah dipraktekkan di Indonesia dengan mengganti ideologi Pancasila, serta merubah demokrasi dan UUD 1945 menjadi formalisasi syariat Islam.
Sejatinya Islam rahmah merupakan solusi penting yang memungkinkan adanya model dakwah agama yang lebih santun, ramah, dan menjadikan Islam sebagai agama yang mempersatukan umat dalam bingkai kebhinekaan bangsa dan negara Indonesia. Tentu dari hal ini tidaklah mungkin jika ada pemaksaan untuk mengganti model ideologi dan sistem ketatanegaraan kita.
Karena Islam rahmah spesifik memiliki nilai-nilai yang universal yang terkandung dalam ideologi Pancasila. Untuk itu, Pancasila bukanlah ideologi yang keluar dari nilai-nilai Islam. Kita bisa melihat itu dalam inti setiap silanya, yaitu ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, dan permusyawaratan untuk mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Sedangkan, sisi lain dari Islam rahmah adalah untuk mewujudkan misi perdamaian dan kemanusiaan agar kekerasan atas nama agama tidak terus-menerus terjadi di lini masyarakat.
Pada akhirnya, membela negara dan menolak radikalisme itu merupakan kesimpulan penting untuk mewujudkan harmonisasi negara dan agama tanpa batas waktu yang ditentukan. Selaras dengan apa yang dikatakan oleh Hamka Haq, (Bela Islam Indonesia Bela Kemanusiaan: 2019, 190). Bahwa, “Pancasila merupakan pengejawantahan dari Islam rahmatan lil ‘alamin yang bisa mengayomi sendi-sendi perbedaan di dalam Indonesia”.
Peresensi, Hasin Abdullah (Peneliti Indonesia Jurisprudence Community (IJC), dan Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta).
Judul Buku : Bela Islam Indonesia Bela Kemanusiaan
Penulis : Lufaefi
Penerbit : CV. Mitra Karya
Tahun Terbit : 2019
ISBN : 978-623-90647-7-8
Tebal : X + 200 Halaman
Jenis Buku : Ilmiah