Take a fresh look at your lifestyle.

Pesantren Abad 18-19 dan Jaringannya dengan Haramian

0 286
Ibadah.co.id – Seiring perjalanan waktu, pesantren berkembang terus sambil menghadapi berbagai rintangan. Sikap tersebut bukan ofensif, melainkan tidak lebih dari defensif; hanya untuk menyelamatkan kehidupannya dan kelangsungan dakwahnya. Pesantren tidak pernah memulai konfrontasi sebab orientasi utamanya adalah melancarkan dakwah dan menanamkan pendidikan. Pada tahapan selanjutnya, pesantren diterima oleh masyarakat, sehingga tidak mengherankan jika pesantren kemudian menjadi kebanggaan masyarakat sekitarnya terutama yang telah menjadi Muslim. Giliran selanjutnya, pesantren berhadapan dengan tindakan tiran kaum kolonial Belanda. Imperialis yang menguasai Indonesia selama tiga setengah abad ini selain menguasai politik, ekonomi dan militer,  juga mengemban missi penyebaran agama Kristen. Bagi Belanda, pesantren merupakan antitesis terhadap gerak kristenisasi dan upaya pembodohan masyarakat. Anggapan demikian dipopulerkan sebagai  basis argumentatif bagi Belanda untuk menekan  pertumbuhan pesantren. Sutari Imam Barnadib menuturkan bahwa  penjajah malah menghalangi perkembangan agama Islam sehingga pondok pesantren  tidak dapat berkembang secara normal. Bahkan pada tahun 1882 Belanda membentuk pristerraden  yang bertugas mengawasi  pengajaran agama di pesantren.[19] Setitar abad ke-17 akhir terjadi perpindahan bangsa-bangsa Barat, yaitu Inggris, Spanyol, dan Portugis dari beberapa kota di Indonesia karena kalah bersaing dengan Belanda. Pada 1663, Spanyol meninggalkan Tidore sehingga wilayah itu jatuh ke tangan Belanda,[20] yang selama ini merupakan rival Spanyol. Bangsa-bangsa Eropa non-Belanda dipaksa untuk meninggalkan Makassar sesuai perjanjian Bongaya.[21] Inggris yang meninggalkan Banten, pada 1864 membangun sebuah benteng dekat Bengkulu untuk mempertahankan posisinya selama lebih dari 150 tahun, sedangkan Portugis terdesak ke Timur untuk selanjutnya menjajah daerah itu selama 300 tahun. Meskipun keadaan pelayaran niaga ke Timur Tengah dan suasana politik tidak kondusif untuk perjalanan haji, sepanjang abad XVIII masih juga secara sporadis banyak penduduk Nusantara yang mengunjungi Haramain. Bagi sebagian orang, kunjungan itu adalah untuk menuntut ilmu, sebagaimana pada masa permulaan haji, dan bagi sebagian yang lain untuk menunaikan ibadah haji. Kelompok terakhir ini, setelah selesai melaksanakan ibadah haji, biasanya segera kembali ke Nusantara. Penguasa tradisional pada masa itu memang memiliki kebiasaan dan selalu berusaha untuk mengirimkan para ulamanya ke Makkah, meskipun usaha pengiriman adakalanya gagal. Pada 27 Safar 1192 H./27 Februari 1778 M., penguasa Belanda menolak permintaan Adipati Cianjur dan Tumenggung Buitenzorg (Bogor) untuk masing-masing mengirim seorang ulamanya ke Makkah.[22] Sosok yang selalu terdengar namanya sebagai pengajar utama di Makkah al-Mukarramah yang memberikan andil langsung dalam pengembangan intelektual para ulama Nusantara Indonesia, yaitu Syaikh Nawawi al-Bantani (1813-1897), dan Syaikh Mahfuzh at-Termisi (w. 1338/1919). Nawawi al-Bantani dilahirkan pada tahun 1230/1813 di Desa Tanara, Kecamatan Tirtayasa, Serang, Banten Jawa Barat, dengan nama lengkap Abu Abdullah al-Mu’thi Muhammad Nawawi bin Umar al-Tanari al-Bantani al Jawi, dan dibesarkan di lingkungan keluarga muslim. Dia meninggal pada tahun 1314/1897, bertepatan dengan meninggalnya Mufti Besar Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, di Makkah, di mana makamnya terletak bersebelahan dengan makam Khadijah, umm al-mu’minin, istri Nabi, yang berada di Ma’la.[23] Ketika berusia 15 tahun, bersama dua orang saudaranya, Syaikh Nawawi pergi ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji, dan kemudian bertahan di Kota Suci Makkah untuk menimba ilmu kepada ulama-ulama besar kelahiran Indonesia dan negeri lainnya, seperti Imam Masjid Haram Syaikh Ahmad Khatib Sambas, Abdul Ghani Bima, Yusuf Sumbulaweni, Syaikh Nahrawi, Syaikh Ahmad Dimyati, Ahmad Zaini Dahlan, Muhammad Khatib Hambali, dan Syikh Abdul Hamid Daghestani, selama kurang lebih tiga tahun, baru kemudian ia pulang kembali ke tanah air lalu mengajar di pesantren ayahnya. Karena kondisi dalam negeri yang tidak kondusif, maka beliau kembali ke Tanah Suci, dan menjadi murid yang terpandang di Masjidil Haram. Ketika Syaikh Ahmad Khatib Sambas uzur menjadi Imam Masjidil Haram, Nawawi ditunjuk menggantikannya. Sejak saat itulah ia menjadi Imam Masjidil Haram dengan panggilan Syaikh Nawawi al-Jawi. Laporan Snouck Hurgronje, orientalis yang pernah mengunjungi Makkah di tahun 1884-1885, menyebutkan bahwa Syaikh Nawawi setiap harinya sejak pukul 07.30-12.00 memberikan tiga perkuliahan sesuai dengan kebutuhan jumlah muridnya, di antaranya, KH. Kholil Madura, KH. Asnawi Kudus, KH. Tubagus Bakri, KH. Arsyad Thawil dari Banten, dan KH. Hasyim Asy’ari dari Jombang. Paling tidak 34 karya Syaikh Nawawi tercatat dalam Dictionary of Arabic Printed Books dari lebih dari 100 judul karya-karyanya yang meliputi berbagai disiplin ilmu. Syaikh Mahfuzh at-Termisi dilahirkan di Tremas, Pacitan, Jawa Timur, pada 12 Jumadil Ula 1258/1868 ketika ayahnya Abdullah sedang berada di Makkah. Saat berumur 6 tahun, ayahnya membawanya ke Makkah pada tahun 1291/1874 dan memperkenalkan kepadanya beberapa kitab penting, sehingga Mahfuzh menganggap Abdullah lebih dari sekadar ayah dan guru, yakni murabbi wa ruhi (pendidikku dan jiwaku). Ketika Mahfuzh menginjak remaja, akhir 1870-an, ayahnya menemani kembali ke Jawa dan mengirimkannya kepada seorang ‘alim Jawa kenamaan, Kyai Saleh Darat (1820-1903) untuk belajar di pesantrennya di Semarang, Jawa Tengah. Ayahnya meninggal di Makkah pada tahun 1314/1896, dan dimakamkan di Ma’la di dekat makam Khadijah. Sebagian besar dari delapan saudaranya menjadi ulama penting di Jawa, dan memiliki ketenaran di beberapa bidang yang berbeda. Mahfuzh ahli di bidang Ilmu Hadits, Dimyati di bidang ilmu waris (fara’idh), bakri di bidang ilmu Al-Qur’an, dan Abdurrazzaq (w.1958) di bidang Tarekat, dan menjadi mursyid tarekat yang memiliki ratusan pengikut dari seluruh Jawa. Ketika Mahfuzh meninggal di Makkah pada Sabtu malam menjelang Maghrib, tanggal 1 Rajab 1338/1919, ribuan kaum muslim menyalatkan dan mengantar jenazahnya ke sebuah pemakaman keluarga Sayyid Abu Bakr bin Sayyid Muhammad Syata (w. 1310/1892) di Makkah. Satu-satunya anak Mahfuzh yang masih hidup adalah Muhammad, yang berhasil menjadi seroang guru dalam bidangnya di Demak, Jawa Tengah, yang memiliki banyak murid dari seluruh Nusantara, atas dorongan kuat dari ayahnya, Mahfuzh, untuk mempelajari dan menghafal Al-Qur’an.[24] Menurut Komaruddin Hidayat, catatan sejarah menunjukkan bahwa secara umum hubungan Islam Nusantara dengan Timur Tengah senantiasa terjalin dengan erat, khususnya sejak sekitar awal abad ke-15 sampai pertengahan abad ke-17, kemudian sejak akhir abad ke-19 sampai sekarang.[25] Ismatu Ropi dan Kusmana menegaskan, dua daerah Timur Tengah yang paling sering dijadikan tumpuan tempat menimba ilmu keislaman (rihlah ‘ilmiyyah atau thalab al-‘ilm) adalah Haramain (Makkah dan Madinah) serta Kairo. Posisi Haramain sangat dominan sejak abad ke-17 hingga akhir abad ke-19. Hal ini boleh jadi adalah karena kaum Muslim memandang Haramain sebagai tempat yang memiliki nilai sakral lebih ketimbang daerah-daerah lain. Sedangkan Kairo baru dilirik para pelajar Indonesia sebagai tempat studi mulai pertengahan abad kesembilan belas setelah sebelumnya terjadi kontak-kontak antara murid-murid Jawa dan Universitas al-Azhar sejak akhir abad ke-18.[26] Pada  pertengahan abad ke-19 ini, menurut Ali Mubarak seperti dikutip Abaza, telah terdapat suatu Riwaq Zawi (asrama mahasiswa Jawa) di Kairo, yang terletak di antara Riwaq Salmaniyyah dan Riwaq al-Shawwam, yang dihuni oleh sekitar 11 orang dipimpin oleh Syaikh Ismail Muhammad al-Jawi. Data lain yang menguatkan adalah catatan Goldziher, yang juga seperti dikutip Abaza, bahwa pada 1871 terdapat enam mahasiswa asal Jawi yang tinggal di Riwaq Jawi. Akan tetapi, Jawa atau Jawi di sini masih merupakan istilah yang digunakan sebelum terbentuknya negara bangsa (Indonesia) yang meliputi semua mahasiswa Asia Tenggara tanpa kecuali.[27] Pada abad ke-17 dan ke-18, interaksi keilmuan antara Timur Tengah dan Indonesia telah semakin menemukan bentuknya yang nyata. Dalam periode ini terbentuk jaringan (networks), dalam bentuk hubungan guru dan murid, yang relatif mapan antara Muslim Nusantara dan rekan mereka di Timur Tengah. Dalam periode ini pula muncul sejumlah ulama yang tidak hanya produktif tetapi juga mempunyai pengaruh terhadap perkembangan Islam di Nusantara. Nama-nama seperti Hamzah Fansuri, Nuruddin ar-Raniri, Syamsuddi al-Sumatrani, ‘Abd al-Ra’uf al-Sinkili, Abu Shamad adalah tokoh-tokoh yang secara intens terlibat dalam jaringan tersebut. Demikian lamanya interaksi yang berlangsung sehingga ia tidak hanya telah membentuk wacana keislaman tersendiri yang unik, tetapi lebih dari itu telah menciptakan jaringan ulama yang berfungsi sebagai ‘alat’ transmisi keilmuan dan gagasan-gagasan pembaruan pemikiran Islam.[28] Berdasarkan perkembangan-perkembangan yang terjadi, studi Islam di Haramain dapat dikelompokkan ke dalam tiga periode. Pertama, periode abad ke-17 sampai dengan akhir abad ke-19. Pada periode ini, wacana yang berkembang adalah tradisionalisme Islam dan neo-sufisme. Kedua, awal abad ke-20 sampai dengan dekade 1950-an. Pada periode ini di Haramain terjadi pergumulan yang intens antara Islam tradisi dan Islam reformis. Kalangan tradisionalis mendirikan Madrasah Darul ‘Ulum yang embrionya adalah Madrasah Shaulatiyah dengan Syaikh Yasin al-Fadani sebagai ujung tombaknya. Sementara kalangan reformis yang dipelopori oleh Syaikh Janan Thayib (orang Indonesia pertama yang mendapat gelar LC dari Universitas al-Azhar) mendirikan Madrasah Indonisiyyin. Sayangnya, madrasah ini terpaksa bubar menjelang Perang Dunia II. Ketiga, dekade 1960-an hingga sekarang yang boleh disebut sebagai periode “the return of Islamic tradition”. Kaum reformis mengalami kekalahan total karena dipandang tidak sejalan dengan ideologi penguasa yang sejak 1925 disuburkan oleh bani Saud. Pada konteks Haramain, lingkungan berpikir pelajar Indonesia tidak jauh berbeda dengna warna pendidikan di sana yang sangat menekankan pendekatan normatif dan ideologis terhadap Islam dan secara umum mempertahankan tradionalisme. Mereka amat sedikit mengenyam pemikiran-pemikiran dari luar Arab (seperti Barat).[29] Perlu juga kita ketahui beberapa tempat di Makkah yang menjadi tujuan para pencari ilmu antara lain: Masjid al-Haram, bait al-Shaikh ataupun rubat, madrasah, dan al-jami’ah. Pertama, pengajaran di Masjid al-Haram, yakni selain sebagai tempat ibadah, juga tempat studi yang banyak diminati, dengan kegiatan pembelajarannya terdiri atas tiga bentuk yaitu halaqa dirasiya (umumnya ba’da ‘Ashr diperuntukkan bagi peserta dewasa), halaqa tahfiz al-Qur’an, dan ma’had HaramKedua, pengajaran di bait al-Shaikh (rumah-rumah para pengajar) dilakukan karena syaikh tertentu melanjutkan pengajarannya di rumah, atau karena ulama-ulama yang tidak mengajar di al-Haram, atau karena sudah terlalu tua (sepuh), atau karena bukan penduduk asli (tabaiya) yang mendapatkan izin membuka halaqa di al-Haram, atau karena alasan lain. Termasuk dalam golongan ini adalah Syaikh Jabir di Harat al-Bab, Kyai Idris Kediri di Shieb ‘Ali. Adapun pengajaran di rumah yang dilakukan oleh syaikh-syaikh yang mengajar di al-Haram dilakukan misalnya oleh Syaikh Yasin Padang. Yang paling menonjol adalah aktifitas belajar di rumah Sayyid Muhammad ‘Alawi al-Maliki, dahulu di Utabiya, sekarang di Rusaifa, Makkah. Ketiga, pengajaran di Madrasah, baik milik pemerintah yang tidak menerima warga asing (ajanib) atau madrasah swasta yang umumnya didirikan oleh perorangan atau paguyuban dari warga asing yang telah memperoleh kewarganegaraan Saudi (taba’iya). Madrasah di Makkah yang banyak diikuti warga asing adalah Madrasah Shaulatiyyah, Madrasah Dar al-Hadits, dan Madrasah Dar al-‘Ulum, yang kesemuanya adalah madrasah swasta (ahliya) dan memusatkan pada ilmu-ilmu agama. Madrasah Shaulatiyyah adalah madrasah tertua dari seluruh madrasah yang ada di Makkah (ketika wilayah ini dimasuki penguasa Mamlaka al-Hijaziyyah tahun 1924 M.). Madrasah ini didirikan pada tahun 1291/1871 atas inisiatif seorang muqimin India, al-Syaikh Muhammad Rahmat Allah (lahir 1233 H.). Secara kuantitatif—dengan demikian—persaturan yang membelanggu perkembangan  pesantren bukan hanya dua kali – sebagaimana dilansir  GF. Pijper[30]—melainkan minimal 4 kali. Kemudian pada awal penjajahan Jepang, pesantren berkonfrontasi dengan imperialis baru lantaran penolakan Kyai Hasyim Asy’ari—yang kemudian diikuti kyai pesantren lainnya— terhadap saikere (penghormatan terhadap kaisar Tenno Haika sebagai keturunan Dewa Amaterasu) dengan cara membungkukkan badan 90 derajat  menghadap Tokyo setiap pagi pukul 07.00 sehingga mereka ditangkap dan dipenjara Jepang. Ribuan santri dan kyai berdemontrasi  mendatangi penjara yang kemudian membangkitkan dunia pesantren untuk melakukan gerakan bawah tanah melawan Jepang.[31] Demontrasi tersebut menyadarkan Jepang betapa besar  pengaruh kyai Tebuireng yang menjadi referensi keagamaan seluruh kyai Jawa dan Madura. Jepang  memandang bahwa tindakan tersebut  bukan saja tidak menguntungkan, tetapi merupakan kesalahan fatal terutama  dalam upaya rekrutmen kekuatan militer dalam menghadapi sekutu. Akhirnya Kyai Hasyim dibebaskan dan mulai saat itu, Jepang tidak mengganggu kyai dan pesantrennya.[32] Kemudian, pada masa kemerdekaan, pesantren  merasakan nuansa baru. Kemerdekaan merupakan momentum  bagi seluruh sistem pendidikan untuk berkembang lebih bebas, terbuka,  dan demokratis. Lembaga-lembaga pendidikan tingkat SD, SLP dan SLA milik pemerintah mulai bermunculan. Sekolah-sekolah partikelir (swasta) juga mulai berpartisipasi  menyajikan saluran pendidikan sebagai upaya pelayanan masyarakat. Proses pendidikan berjalan makin harmonis dan kondusif dengan tidak mengecualikan adanya berbagai kekurangan dan  keharusan pendidikan dapat disalurkan sepenuhnya  pada masa kebebasan ini. Keadaan tersebut justru menjadi pukulan balik bagi  pesantren, meskipun madrasah banyak diminati pelajar. I. Djumhur dan Danasuparta mengisahkan bahwa  lahirnya proklamasi memberi corak baru  pada pendidikan agama. Pesantren-pesantren tidak banyak lagi menjalankan tugasnya, sedangkan madrasah berkembang dengan sangat  pesat.[33] Kurun ini merupakan musibah paling dahsyat terhadap kehidupan dan kelangsungan pesantren. Hanya pesantren besar yang mampu menghadapinya dengan mengadakan penyesuaian dengan pendidikan nasional sehingga musibah itu dapat diredam.  Maka pesantren-pesantren besar masih bertahan hidup, yang  selanjutnya mempengaruhi bentuk dan membangkitkan  pesantren-pesantren kecil yang hampir mati, yang klimaksnya terjadi pada tahun 1950-an.[34] Kehidupan pesantren relatif normal pada masa Orde Baru, namun pada tahun 1970-an, bersamaan dengan suburnya sekularisasi, musibah mengguncang pesantren lagi. Namun seiring dengan hubungan pemerintah dengan umat Islam yang semakin membaik, pesantren dapat hidup dan berkembang dengan baik,[35] bahkan belakangan ini berkembang dengan sangat pesat dengan segala variasinya. Variasi pesantren tersebut  dapat diteropong dari berbagai perspektif, mulai dari rangkaian kurikulum, tingkat kemajuan dan kemodernan, keterbukaan terhadap perubahan dan  dari perspektif sistem pendidikannya. Dari segi kurikulumnya, pesantren dapat dikategorikan pada pesantren modern, pesantren takhassus dan pesantren campuran. Martin van Bruinessen  mengelompokkan pesantren menjadi pesantren paling sederhana yang hanya mengajarkan cara membaca  huruf arab dan  menghafal  beberapa bagian  atau seluruh al-Qur’an,  pesantren sedang yang mengajarkan  berbagai kitab fiqh, ilmu aqidah, tata bahasa arab, terkadang amalan sufi dan pesantren paling maju yang mengajarkan kitab-kitab fiqh, aqidah dan tasawuf yang  lebih mendalam  dan beberapa mata pelajaran tradisional lainnya.[36] Zamakhsyari Dhofier memandang  pesantren dari perspektif keterbukaan  terhadap perubahan yang terjadi, sehingga membagi pesantren menjadi pesantren   salafi  dan khalafi.  Pesantren  salafi tetap mengajarkan pengajaran kitab Islam klasik sebagai inti pendidikannya. Penerapan sistem madrasah untuk memudahkan sistem sorogan yang dipakai dalam lembaga-lembaga pengajian bentuk lama tanpa mengenalkan pengajarn pengatahuan umum. Sedangkan pesantren khalafi telah memasukkan  pelajaran umum dalam madrasah-madrasah yang dikembangkan atau membuka tipe-tipe sekolah umum di dalam lingkungan pesantren.[37] Sementara itu, Qadry Abdillah Azizy membagi pesantren atas dasar kelembagaannya yang dikaitkan dengan sistem  pengajarannya pada lima kategori. Pertama, pesantren yang menyelenggarakan  pendidikan formal dengan menerapkan  kurikulum nasional, baik yang hanya memiliki sekolah keagamaan  maupun yang juga memiliki sekolah umum. Kedua, pesantren yang menyelenggarakan pendidikan keagamaan dalam bentuk madrasah dan mengajarkan  ilmu-ilmu umum meski tidak menerapkan kurikulum nasional. Ketiga, pesantren yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama dalam bentuk madrasah diniyah. Keempat, pesantren yang hanya sekedar menjadi tempat pengajian (majlis ta’lîm), dan kelima,  pesantren  untuk asrama anak-anak belajar sekolah umum dan mahasiswa[38] Ada pula yang membuat kategori pesantren  berdfasarkan spesifikasi keilmuan, sehingga menjadi pesantren alat, pesantren fiqh, pesantren qira’ah dan pesantren tasawuf.[39] (RB)

Sumber

[19] Zuhairini, dkk, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), h. 149-150. [20] F.S.A De Clercq, Bijdragen tot de Kennis der Residentie Ternate, (Leiden: E.J. Brill, 1890), h. 161. [21] Bernard H. M. Vlekke, Nusantara a History of the East Indian Archipelago, (Cambridge: Harvard University Press, 1943), h. 170. [22] Johan Eisenberger, Indie and de Bedevaart naar Mekka (Disertasi di Rijksuniversiteit Leiden), Leiden: Boekhandel M. Dubbeldeman, 1928, h. 14-15. [23] Abdurrahman Mas’ud, Dari Haramain ke Nusantara, Jejak Intelektual Arsitek Pesantren, h. 109. [24] Abdurrahman Mas’ud, Dari Haramain ke Nusantara, Jejak Intelektual Arsitek Pesantren, h. 161. [25] Komaruddin Hidayat, Pengantar dalam Ismatu Ropi, Kusmana (Ed.), Belajar Islam di Timur Tengah, (Jakarta: Departemen Agama RI), h. x. [26] Ismatu Ropi, Kusmana, “Alumni Timur Tengah dan Disseminasi Otoritas Keislaman di Indonesia”, dalam Ismatu Ropi, Kusmana (Ed.), Belajar Islam di Timur Tengah, (Jakarta: Departemen Agama RI), hlm. 5. [27] Abaza, Mona, Islamic Education, Perception and Exchanges Indonesian Students in Cairo, (Paris: Cahier d’Archipel 23, 1994), h. 38-9. [28] Ismatu Ropi, Alumni Timur Tengah, h. 10. [29] Ismatu Ropi, “Alumni Timur Tengah dan Disseminasi Otoritas Keislaman di Indonesia”, dalam Ismatu Ropi, Kusmana (Ed.), Belajar Islam di Timur Tengah, (Jakarta: Departemen Agama RI,) h. 7. [30] GF. Pijper, Beberapa Studi tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900-1950.  Terj. Tudjimah dan Yesy Augusdin (Jakarta: UI  Press, 1985), h. 82. [31] Imron Arifin, Kepemimpinan Kiyai Kasus pondok Tebuireng, (Malang: Kalmasahada Press, 1993), h. 79. Lihat juga Martin van Bruinessen¸ NU Tradisi Relasi-Relasi Kuasa Pencarian Wacana Baru, (Yogyakarta: LkiS, 1994), h. 52. [32] BJ. Boland, Pergumulan Islam di indonesia 1945-1972.  Terj. Safroeddin  Bahar (Jakarta: Grafiti Press, 1985), h. 11. [33] I. Djumhur dan Danasuparta, Sejarah Pendidikan (Bandung: CV. Ilmu, tt), h. 223. [34] Martin, NU Tradisi Relasi-Relasi, h. 20. [35] Kuntowijoyo, Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia, (Yogyakarta: Salahuddin Press, 1994), h. 30. [36] Martin, NU Tradisi Relasi-Relasi, h. 21. [37] Dhofier, Tradisi  Pesantren, h. 76. [38] Azizy, Pengantar, h. viii. [39] Abdurrahman Wahid,  Bunga Rampai Pesantren, (Jakarta: CV, Dharma Bakti,tt), h.  25.

Get real time updates directly on you device, subscribe now.

Leave A Reply

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More

Privacy & Cookies Policy