Ibadah.co.id – Para ulama telah menyatakan sikap keagamaan tentang covid-19 yang terangkum dalam banyak fatwa yang sangat beragam. baik bersifat institusional seperti Fatwa Persatuan Ulama Islam Dunia (al-Ittihad al-‘Alamy li al-‘Ulama al Muslimin), Dewan Riset Ulama al-Azhar Mesir (Majma’ Buhuts al-Azhar), Majlis Ulama Indonesia (MUI), maupun dari perpsektif personal ulama seperti Ustaz Abdul Shomad (UAS), Ustaz Adi Hidayat (UAH) Buya Yahya, Kiai Ahmad Bahaudin (Gus Baha) dan lainnya yang dipandang mampu dan otoritatif dalam memberi pendapat keagamaan tentang hal itu.
Secara umum, jumhur ulama di atas sepakat, bahwa Virus Corona termasuk waba’ tha’un (pandemik global) yang dapat menimbulkan mafsadah, karena dapat mengancam (dharar) bagi kehidupan manusia.
Status dharar tersebut merupakan bahaya besar dan mesti di musnahkan segera atau paling tidak diminimalisir secepatnya. Mafsadah (kerusakan) dan dharar (bahaya) tersebut adalah dua entitas yang kontras dengan orientasi umum ajaran Islam.
Dari itu, dalam maqashid syariah (tujuan inti syariat) menjaga lima dasar kehidupan (kulliyat khams) yang terdiri dari menjaga agama, jiwa, akal, nasab dan harta disebut juga dengan dharuriyat yang berkedudukan primer, yang tidak boleh terancam oleh dharar dan mafsadah guna menjaga kehidupan manusia.
Mengingat Covid 19 adalah wabah menular, maka langkah pencegahannya adalah dengan meniadakan kerumunan, melakukan physical distancing yang termasuk di dalamnya adalah menunda pelaksanaan sholat secara berjamaah di Masjid dan meniadakan pelaksanaan sholat Jumat sementara waktu.
Peniadaan sementara ritual ibadah tersebut karena masuk kategori menghindari mafsadah (penularan) yang jauh lebih baik daripada mengerjakan kebaikan (mashalih) seperti ibadah berjamaah.
Namun, argumen tentang mafsadah dan dharar Covid 19 bagi manusia sebagaimana penjelasan di atas, tidak lantas menutup semua interpretasi hukum yang berbeda tentang hal tersebut.
Karena, tingkat dharar dan mafsadah-nya bagi setiap orang yang dipandang masih samar di satu sisi, dan teropong keimanan kepada taqdir menjadi variable yang mesti ditimbang di sisi yang lain.
Selain itu, adanya asumsi ‘konspirasi’ politik dalam rangka menjauhkan umat dari tempat ibadah, menjadi alibi tersendiri yang juga tak boleh dianggap nihil. Dari perspektif itu semua, menurut Azyumardi Azra, sulit untuk menafikan adanya kelompok splinter agama, yaitu kalangan umat beragama yang memiliki cara pandang berbeda dengan arus utama (mainstream) (Republika 26/3/2020). Maka tidak salah, jika ditengah umat, masih saja ada individu atau kelompok yang melakukan amaliyah yang justru berlawanan dengan imbauan fatwa tadi.
Adanya splinter agama tersebut bukanlah asing dalam kajian turats, karena dalam sejarah fiqih, ada bebarapa pendapat yang dianggap syadz (aneh) dan bertolak belakang dengan pandangan jumhur ulama. Fatawa syadzah (pendapat yang aneh) adalah pendapat yang tidak mengikuti metodologi fatwa secara benar dan dinyatakan keliru oleh mayoritas ulama.
Hal ini seperti yang dicontohkan Yusuf al-Qaradawi dalam bukunya “al-Fatawa Syazzah”, yaitu pendapat Ibn Hazm al-Zahry tentang najisnya fisik orang musyrik dan halalnya meminum air yang bercampur dengan air kencing sebagaimana yang diungkapkan dalam kitab fiqihnya “al-Muhalla”.
Lantas, bisakah disebut perilaku splinter Corona tersebut sebagai pengamal pendapat keagamaaan yang syadz? Jawabannya tergantung darimana sisi mana argumen jawaban itu akan dikonstruksikan.
Namun, dari perspektif menjaga maslahat yang lebih besar, dan menghindar dari wabah pandemik menular yang bersifat ghaib, maka menggunakan pendekatan sad adz-dzari’ah (tindakan pencegahan), rasanya lebih rasional dijadikan teori pendekatan dalam mencari formulasi pandangan hukum keagamaan terhadap Covid 19 ini.
Mengingat, pencegahan serta penanggulangan terhadap wabah Covid 19 ini adalah bagian yang include dan tak terpisahkan dari upaya dan tindakan pengobatan. Apalagi, pandangan keagamaan yang berbentuk fatwa diterbitkan institusi keagamaan yang selama ini memiliki otoritas dan dijadikan rujukan serta bagian dari sumber hukum oleh institusi negara.
Namun memang, persoalan tidak sesederhana itu, karena hukum keagamaan yang bersifat furu’ sangat rentan terjadi perbedaan pendapat. Karena ruang hukum-nya berada dalam wilayah ijtihadiyah yang diantara prasyarat penguatan kesimpulan hukumnya adalah waktu (zaman), tempat (amakin) dan kondisi sosial masyarakat (ahwal ijtima’iyah).
Di sini kemudian kaedah hukum berlaku, alhukm yaduru ma’a al’illat wujuda wa ‘adama, bahwa kesimpulan hukum itu selalu dipengaruhi sebab dan justifikatisi yang mengitarinya.
Jika kekhawatiran atas penularan wabah Covid 19 menjadi justifikasi peniadaan sementara sholat berjamaah dan Jumat di Masjid dianggap tidak memiliki kekuatan legitimasi, maka bagaimana dengan sikap keagamaan sahabat Nabi ‘Amr bin ‘Ash yang meminta rakyatnya untuk meninggalkan rumah dan hijrah ke puncak gunung dan lembah sebagai bentuk social distancing menghindar wabah, dan diyakini tidak melaksanakan sholat berjamaah dan Jum’at?
Juga pendapat fuqaha terdahulu yang pernah meniadakan sholat berjamaah di Masjidil Haram ketika terjadi wabah besar di kota Makkah pada tahun 827 Hijriyah, seperti yang diungkapkan oleh al-Hafiz Ibn Hajar (852 H) dalam bukunya Anba’ al-Ghumur fi Anba al-‘Umur.
Sebenarnya, konstruksi argument fatwa Corona sebagai bentuk pencegahan terhadap penularan dan antisipasi korban lebih besar sudah cukup rasional, baik dari perspektif dalil teks (naql) dan rasionalitas (aql).
Namun, berapapun tumpukan dalil itu hanya berguna bagi yang berpikir dalam mencari kebenaran. Sebab kata syekh Ghazali, “Saya tidak takut dengan manusia yang berfikir meskipun salah, karena dia masih berpotensi untuk kembali kepada kebenaran. Namun yang saya takutkan adalah orang yang tidak berfikir meskipun selalu dibimbing, sebab dia hanya seperti jerami dalam tiupan angin.” Wallahu ‘alam. (RB)