Take a fresh look at your lifestyle.

Santri, Antara Pergeseran Moral dan Krisis Keteladanan

0 655

Ibadah.co.id – Ayat yang pertama kali turun dalam Surat Al-Alaq secara signifikan menegaskan urgensinya membaca dan belajar bagi kaum muslim. Menjadi muslim berarti menjadi santri, menjadi santri berarti tidak boleh lepas dari kegiatan belajar selama 24 jam, baik membaca dan belajar ayat-ayat Qouliyah di lembaga pendidikan, atau ayat-ayat Kauniyah di alam bebas.

Penanaman nilai-nilai agama yang memiliki kebenaran mutlak dan berorientasi pada kehidupan ukhrawi menyebabkan santri diharapkan benar-benar memiliki aqidah yang kuat, syari’at yang matang dan ilmu pengetahuan yang mumpuni

Seperti kita ketahui, penanaman nilai moral mendapatkan tempat signifikan dalam setiap pesantren. Hal ini disebabkan para Kyai adalah pewaris para Nabi. Nabi tidak mewariskan apapun kecuali ilmu pengetahuan dan akhlaq yang mulia. Seperti dari kutipan sabdanya, yang artinya, “Dan tidaklah aku diutus (oleh Allah) melainkan untuk menyempurnakan kebaikan akhlak. Sehingga, apa yang diterapkan dan dipraktekkan oleh Kyai untuk kemudian dikuti oleh santri merupakan implementasi ajaran-ajaran salat yang bersumber pada prilaku Nabi Muhammad SAW.

Terutama kaitannya dengan bagaimana etika santri dengan orang-orang sekitarnya, tentang bagaimana etika santri dengan Rabb-nya. Semua itu dilakukan secara disiplin dan Istiqamah. Disiplin dalam bersikap, disiplin dalam ibadah dan disiplin dalam amaliyah sehari-hari, meskipun itu butuh proses panjang dan perjuangan yang gigih.

Pendidikan pesantren selama 24 jam menstimulasi santri membiasakan diri disiplin melakukan amaliyah-amaliyah, wajib maupun sunnah, membaca Wirid-wirid, membaca A-Quran dan perilaku-perilaku hasanah yang lainnya, sehingga terbentuklah santri yang taat guru, taat orang tua, taat beragama dan berbangsa.

ldealitas di atas seandainya dapat terealisasi secara menyeluruh, niscaya akan dapat menciptakan pribadi-pribadi santn yang tangguh, mumpuni, mandin dan matang serta profesional. Cita-cita pesantren dalam meneruskan estafet perjuangan Nabi tentu tidak akan sulit terlaksana.

Begitupun idealitas pesantren sebagai basic pertahanan ajaran-ajaran Islam. Namun realitasnya, justru berbalik. Ternyata prinsip-pnnsip pesantren mulai bergeser di kalangan santri, khususnya para remaja. Pergeseran ini disebabkan kecenderungan mereka mengikuti budaya-budaya luar yang tak sejalan dengan prinsip pesantren.

Pelanggaran-pelanggaran atau perilaku negatif santri kerap bermuara pada budaya tersebut, seperti melihat konser musik, kekerasan fisik, pencurian, pacaran, pesta miras atau sabu-sabu, dan lain-lain. Begitu pula cara penampilan mereka yang tidak sedikit mengikuti gaya yang sedang trend di kalangan selebritis, seperti; mode pakaian yang gaul, gaya rambut yang modis dan berwarna, gelang tangan dan memakai kalung.

Belum lagi cara bergaul yang sok abis, seperti tidak lagi bersikap tawadlu’ pada guru dan orang-orang sekitamya terutama orang tua, tutur kata yang kasar, suka urakan dan rendahnya sikap menghormati serta menyepelekan eksistensi kitab klasik. Budaya dan etika non-religius seperti itu ditelan mentah-mentah tanpa disikapi secara kritis.

Bukankah semua prilaku itu tidak sejalan dengan semangat ajaran-ajaran salaf? Bukankah para Kyai dalam mendidik lebih menekankan pada keteladanan ulama-ulama salaf? Bukankah kita memiliki kyai-kyai besar dengan akhlaq yang luhur dan intelektual yang tinggi? Dari sikap yang telah diteladankan Kyai, apakah kita tidak bisa berkontemplasi (merenungkan) bahwa penghayatan dan pengamalan ilmu oleh para kyai itu karena mereka melatih diri sejak menjadi santri? Bukankah dengan luasnya pergaulan, mereka memiliki pribadi yang layak disebut manusia yang utuh, yang menghargai manusia sebagai manusia, bukan pribadi yang muncul karena atribut ke-kyai-an dan ke-darah biruannya?

Yang jelas, kemerosotan moral santri ini dipicu rendahnya pemahaman dan pengamalan ajaran ulama-ulama salaf yang tertuang dalam bentuk ahwal (prilaku). lisan (wejangan) atau tulisan (kitab/buku). Akibatnya, identitas santri sedikit demi sedikit mulai terkikis seiring perkembangan usia. Diperparah lagi karena pengaruh pesatnya laju budaya modern (western) dan informasi tanpa ada filter ketat.

Dan salah satu pengobatnya adalah keteladanan. Kita sebagail santri harus bisa mendapatkan sebanyak mungkin figur tokoh-lokoh pesantren yang telah melampaui masa belajarnya di pesantren dengan baik, sekaligus meneladani mereka. Sekarang, mari kita merenung. Maukah kita seperti para kyai, dengahn akhlaknya yang lebut meneladani para gurunya dengan bijaksana? Jawabannya, ada pada nurani kita masing-masing.(HN/Kontributor)

Get real time updates directly on you device, subscribe now.

Leave A Reply

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More

Privacy & Cookies Policy