ibadah.co.id, Pemerintah berjanji tidak bakal mengabaikan kelanjutan reformasi ekonomi di tengah gebyar Pesta Demokrasi yang akan diselenggarakan pada tahun depan. Janji tersebut beriring dengan komitmen Pemerintah untuk terus melanjutkan pembangunan ekonomi yang setia pada lima pilar seperti yang telah dikerjakan dalam 4 tahun terakhir.
Hal itu disampaikan oleh Staf Khusus Presiden bidang Ekonomi, Ahmad Erani Yustika, dalam diskusi publik FAAPPMI bekerjasama dengan DEMPOL Institute berjudul “Hambatan, Tantangan dan Prospek Ekonomi Indonesia” di Hongkong Cafe, Jakarta Pusat, (31 Oktober 2018)
Erani memaparkan, lima prinsip tersebut adalah kerangka makroekonomi yang memayungi seluruh aktivitas ekonomi, keadilan, pembangunan yang berkelanjutan, kemandirian dan tata kelola pembangunan. “Data menunjukkan kalau pada 2016 hingga semester I tahun ini, Pemerintah berhasil membalikkan tren pertumbuhan ekonomi yang kian lemah yang telah terjadi sejak 2012, yang dibarengi dengan peningkatan kualitas pertumbuhan melalui penurunan angka kemiskinan dan indikator ketimpangan,” jelas Erani.
Di sisi keadilan sosial, Erani menambahkan tentang geliat pertumbuhan perekonomian perdesaan. Pencapaian fasilitas Kesehatan BPJS nampaknya memiliki andil, memberikan insentif bagi tumbuhnya ekonomi desa. Ia memperkirakan, pada akhir tahun depan jumlah peserta BPJS Kesehatan sudah mencakup 90% dari total penduduk Indonesia, dari posisi saat ini yang baru 76% atau sekitar 203 juta orang.
“Dari sisi fiskal, pemerintah juga telah menaikkan batas pendapatan tidak kena pajak (PTKP) ke Rp 54 juta per tahun atau Rp 4,5 juta per bulan. Ini berarti seluruh jenis pekerjaan yang gajinya ada pada batas upah minimum tidak kena pajak, bahkan di DKI Jakarta.”
Terkait soal reformasi struktural Ahmad Erani Yustika menjelaskan perlu lebih memperdalam serta menambah daya saing industri dan melakukan transformasi ekonomi secara cepat. Tantangan ekonomi Indonesia ke depan menurut Erani selain pendalaman reformasi struktural adalah pembangunan kualitas SDM, desain kelembagaan yang solid, konsistensi dan harmonisasi kebijakan, serta komitmen keberlanjutan dan kelestarian lingkungan. “Kita harus outward looking, komoditas yang punya nilai tambah harus diatur dengan baik,” tuturnya.
Tak hanya isu ekonomi makro, Erani mengatakan Pemerintah juga mulai mencoba untuk membangun komitmen terkait isu kelestarian lingkungan, yang dicerminkan dengan penetapan kebijakan tentang bahan bakar nabati, khususnya minyak kelapa sawit, untuk menerapkan penggunaan energi ramah lingkungan dan menaikkan standar emisi dari Euro 2 menjadi Euro 4.
Menanggapi pandangan bahwa Presiden hanya berfokus pada persoalan politik elektoral, Pilpres 2019, Erani memaparkan pembangunan infrastruktur yang dilaksanakan di daerah, khususnya Indonesia bagian Timur. Pembangunan infrastruktur untuk mewujudkan konektivitas di daerah menurutnya tidak mementingkan elektabilitas, karena penguatan pembangunan justru di Indonesia bagian timur yang jumlah pemilihnya tidak sebanyak di bagian barat.
Di tempat yang sama, Kepala Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri menanggapi bahwa dalam tahun-tahun terakhir, isu ekonomi sudah menjadi bagian penting dari perhatian masyarakat yang berpengaruh kepada tingkat kepuasan terhadap Pemerintah. Mengutip riset CSIS, ia menyebut bahwa persepsi masyarakat dan lingkungan bisnis masih belum seutuhnya positif dalam memandang kebijakan-kebijakan utama Pemerintah, seperti pembangunan infrastruktur, sertifikasi tanah dan BPJS Kesehatan.
Untuk itu, Yose bahkan sampai pada kesimpulan bahwa musuh atau rival dari kepemimpinan Presiden Joko Widodo yang juga merupakan calon presiden bukanlah sosok kandidat calon presiden 2019, namun adalah ekonomi. Menjelang Pileg-Pilpres 2019, Yose mengatakan Jokowi memiliki modal politik, namun modal politik itu bisa tergerus apabila Pemerintah tidak berhasil meyakinkan publik mengenai capaian-capaian dan langkah pemerintah dalam mengendalikan perekonomian,
Ditambah lagi, Yose menilai Pemerintah sudah tidak fokus dalam mengatasi tantangan ekonomi sejak tahun lalu. “Sejak mei 2017 sudah tidak ada lagi paket kebijakan ekonomi yang baru, dan Presiden dalam satu setengah tahun terakhir banyak terfokus pada agenda politik,” ungkap Yose. Singkatnya, apa yang menjadi pencapaian perekonomian saat ini, termasuk soal stabilitas perekonomian bukan menjadi jaminan atas tercapainya keadilan ekonomi.
Di sisi lain, upaya pemerintah menegakkan keadilan ekonomi di tahun politik nampaknya harus beresonansi di tingkat akar rumput. Jangan kemudian setelah implementasi di level paling bawah upaya pemerintah tersebut menjadi bias akibat problem komunikasi. Di tengah kemajuan teknologi informasi, media sosial harus bisa menjadi sebagai sumber informasi publik, bukan malah membiaskan informasi, bahkan memproduksi hoaks.
“Selain implementasi kebijakan, mekanisme pengawasan juga harus diperkuat, banyak peraturan tanpa pengawasan implementasi akan menyebabkan disinformasi publik,” tegas Agung Sedayu, Koordinator Presidium FAA PPM.