Ibadah.co.id-Menjadi santri senior, tentu lebih banyak berpengalaman ketimbang santri junior. K. Sa’di, seorang guru di lembaga Nasy’atul Muta’allimin dan alumni Pesantren Annuqoyah Guluk-Guluk Sumenep.
K. Sa’di selain terkenal kesenioran ketimbang guru yang lain, juga memiliki sifat yang sederhana. Dia setiap harinya tidak pernah absen mengajar kecuali udhzur syar’i. Dia berjalan dari dusun Pangabesan sampai di lembaga MTs Nasy’atul Muta’allimin, yang diperkirakan 1 KM dan selalu tepat waktu sebelum lonceng bel masuk berbunyi.
Pihak lembaga telah menawarkan fasilitas yang berupa sepeda, namun beliau menolaknya. Beliau lebih enak berjalan kaki untuk menikmati alam ciptaan Allah ketimbang menaiki sepeda.
Sampai sekarang, di umur yang terbilang tua. Beliau masih menyempatkan untuk tetap mengajar di lembaga Nasy’atul Muta’allimin. Namun, dalam kondisi tersebut, pihak lembaga menyuruh beberapa santri untuk menjemput dan mengantarkannya pulang.
Santri Senior Almaghfurlah KH. A. Zubairi Marzuki ini menuturkan, bahwa dia diminta oleh pendiri untuk mengajar sekitar tahun 1980-an. Saat itu, beliau diperintahkan untuk mengajar di madrasah ibtidaiyah (MI). Kemudian, mendirikan lembaga MTs, beliau berpindah dan dipercaya memegang materi tauhid sampai sekarang.
Salah satu hal yang menarik dari prinsip beliau, bahwa menjadi seorang guru bukan niat mengajar, melainkan niat ngaji. Hal ini didasarkan Hadis Nabi SAW, mencari ilmu mulai dari sejak lahir sampai mati. Kedua, niat mengingatkan diri sendiri. Dengan cara mengingat itulah, seseorang mengenali dirinya sendiri dan merasa malu berbuat maksiat kepada Allah. (HN/Kontributor)
Sumber: Jurnal Imtihan Nasy’atul Muta’allimin