Vaksinasi Virus Radikalisme ala Pesantren
Dentuman seruan melawan virus telah bertalu talu di tanah air, virus covid-19 serta virus radikalisme, keduanya merupakan virus berbahaya bagi kita semua, terutama keganasan virus radikalisme.
Ketika bicara tentang virus radikalisme, ada baiknya pembahasan mulai dari segi pemaknaan. “Pemaknaan paling umum tentang radikalisme ialah mengarah pada suatu gerakan politik yang menjadikan agama sebagai basis ideologi” (Rohmatul Izad,2018)
Sementara untuk sisi pemicu, Anggota Komisi III DPR, Akbar Faisal, menyatakan bahwa terdapat tiga faktor. Faktor domestik, yaitu kekecewaan individu sebab masalah kemiskinan dan juga korban kezaliman. Faktor internasional, yang disebabkan terjadinya eksploitasi global yang masih sarat dengan kesenjangan dan kekerasan global. Terakhir, faktor kultural, yakni cetek dalam memahami kitab suci ataupun Sumber Hukum Islam lain.
Situs berita Kompas mengabarkan bahwa, Presiden Jokowi menginstruksikan perencanaan vaksinasi Covid-19 selesai dalam dua pekan. Berbeda dengan virus covid-19, sampai sekarang vaksin untuk virus radikalisme dirasa belum efektif untuk mengatasi virus radikalisme ini. Padahal kedua virus ini sama menjadi teror nyata bagi Bangsa Indonesia.
Pesantren dan vaksin radikalisme
Meminjam istilah Dhofier (1998), pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional indegeneous Nusantara, pada saat berada di sana, santri mendalami ilmu agama juga mengamalkan ajaran agama dengan menekankan moral sebagai pedoman hidupnya.
Maka dari itu, pesantren berkontribusi besar dalam menyiapkan “vaksin” yang meliputi unsur kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual. Tepat rasanya bila “vaksinasi” virus radikalisme berada pada komunitas pesantren. Mengapa demikian, karena pesantren memiliki beberapa komponen untuk menanggulangi virus radikalisme.
Pertama, pesantren mampu meminimalisir kekecewaan dan kemiskinan melalui penanaman keimanan yang berimplikasi pada hal positif. Kecerdasan spiritual yang ditekankan oleh pesantren, dapat menggiring laku individu pada hal yang ma’ruf.
Kedua, fakta kezaliman lingkup lokal dan global butuh adanya kohesi dari segenap lapisan, serta kedewasaan semua pihak dalam menyikapinya. Artinya, ketimpangan yang terjadi harus diatasi dengan kerja-kerja kolektif, strategis dan simultan. Perlu kepala dingin, dan tangan yang saling bergandengan untuk menjawab permasalahan tersebut. Dengan pembinaan emosi, peletakan jiwa kolektivitas serta gotong royong, santri siap berpelopor dalam hal tersebut.
Terakhir, perihal kesalahpahaman kelompok virus radikalisme dalam memahami teks-teks hukum islam. Sebab, mereka mencerna teks hanya secara harfiah cum tekstualis. Tak seperti pesantren, mendidik santri menyelami setiap literatur Islam dengan mempelajari fan-fan ilmu seperti, nahwu, sharaf, manthiq (logika), ilmu tasawuf dan seterusnya. Manfaat mempelajari ilmu-ilmu tersebut yakni seseorang dapat melahirkan pemahaman yang utuh, hati yang jernih tanpa menimbulkan kekakuan dalam beragama.
Berkaca pada tuturan KH. Abdul Karim (2020), santri harus bisa menjadi paku. Pesan ini memiliki filosofis begitu mendalam. Berawal dari hakikat paku sebagai penyatu komponen beragam untuk membangun sebuah pondasi, lalu dikiaskan kepada santri. Akhirnya, santri adalah elemen penting dalam menyatukan, mengayomi, dan pembangunan masyarakat yang heterogen juga macam-macam.
Keluhuran etika, luasnya cakrawala pemikiran serta kekuatan iman menjadi perpaduan komprehensif untuk menghasilkan “vaksin” virus radikal. Sekarang, peran memberikan “vaksinasi” wacana Islam rahmatan lil alamin oleh santri kepada publik luas.
Maka dari itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa pesantren memiliki potensi melakukan “vaksinasi” melalui unsur kepesantren-an untuk membendung daya laju perkembangan paham radikalisme. Bersama santri damailah negeri!
Penulis: Muhammad Sirojul Munir (MANPK MAN 4 Denanyar Jombang)
_Juara IV Lomba Artikel Populer Hari Santri Nasional 2020_
[…] Wakil Presiden Indonesia Ma’ruf Amin sedang menunggu informasi terkait hasil pengecekan kehalalan vaksin dari […]